29. Dark

3.5K 174 46
                                        

“Seberapa keras aku mau lupain semua kenangan buruk, tidak bisa karena kenagan buruk itu terus menghantui.”
Pricilla Evyta Aurora.

***

“Apa bener yang mereka katakan tentang Vita? Jadi Vita kehilangan kehormatannya? Tapi kenapa? Dan sejak kapan?” tanya Vita kepada Deon. Gadis itu menatap lekat kakak sepupunya dengan mata sembab.

“Kamu jangan dengerin kata mereka, buktinya Kakek sama Nenek masih sayang sama kamu. Mereka tahu kalau kamu gak bersalah atas ini.” Deon mencoba menenangkan Vita. Lelaki itu mengusap pelan pipi yang baru saja dipukul oleh Dareen. Sedangkan di luar kamar Vita, terdengar suara keributan di sana.

“Papa sudah bilang sama kamu untuk gak ungkit-ungkit masalah yang terjadi sebelum Vita koma!” teriakan menggelegar milik Wijaya terdengar di seluruh penjuru ruangan.

“Percuma, Pa! Tetangga-tetangga juga selalu melontarkan perkataan pedas ke Vita! Bahkan aku ....” Tunjuk Valen pada dirinya sendiri, lalu kembali membentak, “Harus menanggung malu dan macam-macam hinaan! Mereka menganggap aku gak becus jadi ibu!”

Sedangkan Dareen, pria itu dengan wajah bonyoknya karena pukulan Wijaya mencoba menenangkan sang istri agar kemarahan mertuanya tidak semakin menjadi.

“Tidak seharusnya kamu memperlakukan cucu papa seperti tadi! Terutama kamu Dareen!” Telunjuk Wijaya mengarah kepada Dareen. “Jangan mentang-mentang Vita bukan darah daging kamu, kamu bisa pukul dia kayak tadi, atau jangan-jangan kalian selalu memperlakukan dia seperti itu?” Kali ini suara Wijaya merendah, ia tidak ingin Vita mendengar rahasia ini.

Emosi Dareen tersulut kali ini. “Papa belain Dariel? Papa gak mau Dariel disalahin karena masalah ini?!”
“Papa sama sekali gak belain Dariel!” tegas Wijaya.

“Lalu apa maksud Papa yang bilang kalau Vita bukan darah daging aku?! Jadi Papa pikir aku selalu membedakan dia sama Nala dan Bella?! Enggak Pah! Sebelum kejadian yang tampak mengecewakan untuk seorang ayah, Vita selalu aku kasih perhatian dan kasih sayang yang berlebih daripada Bella, Nala dan Derta!” Sinta—istri Wijaya—ikut menenangkan suaminya dengan air mata yang berderai. Bahkan Valen dengan tangisannya malah balik ikut menenangkan Dareen agar tidak tersulut emosi.

“Kalian apa-apaan, sih?!” suara milik Deon keluar begitu lelaki itu menutup rapat-rapat pintu kamar Vita. Semua menoleh ke arahnya. “Kalau sampai Vita denger gimana?! Untung dia udah tidur!” katanya tegas. Deon memang dididik begitu disiplin dan selalu diajarkan bersikap dewasa oleh Shila dan Dariel, wajar jika anak itu bisa berkata seperti itu di depan orang dewasa.

“Vita gimana?” tanya Sinta khawatir.

Deon menghela napas. “Dia tidur, Deon kasih dia obat tidur di minumannya, biar dia gak denger ocehan kalian.” Dareen menatap Deon tajam, lalu beralih kepada Wijaya yang kini terdiam.

“Kenapa Papa diam?” tanya Dareen. Deon menghela napas, sepertinya gertakannya tadi tidak dihiraukan oleh mereka.

“Sepertinya papa gagal jadi papa yang baik buat anak dan menantu papa.” Wijaya mendudukkan dirinya di sofa dibantu oleh Sinta.

Valen mengusap air matanya. “Maksud Papa apa?” tanyanya tidak mengerti.

“Bahkan mereka rela menyakiti cucu papa,” lanjut Wijaya lagi. Tangis Valen pecah saat itu juga, dan Dareen mengusap air matanya yang jatuh.

Valen mendudukan dirinya di hadapan Wijaya, dan memeluk lutut pria itu dengan tangisnya. “Ma-maafin Valen, Pah. Va-Valen tahu Valen salah,” isaknya.

Wijaya tersenyum lalau mengusap air matanya. “Papa maafin kamu asal kamu janji jangan sakiti Vita lagi.”
Valen mendongak dan menatap Wijaya, lalu perempuan itu mengangguk. Dareen ikut meminta maaf kepada Wijaya. Lalu Wijaya mengusap kepala mereka berdua. “Kalian pindah rumah saja, Papa sudah siapkan rumah itu, rumah itu atas nama Vita juga.”

Pintu terbuka, menampilkan sosok Derta dan Nala yang bingung dengan situasi saat ini. Valen dan Dareen sudah berdiri kembali dan Dareen memeluk pinggang istrinya. Lalu Wijaya membentangkan tangan, menatap Deon, Derta, dan Nala bergantian. Seolah mengerti, mereka bertiga langsung menghamburkan diri ke pelukan Wijaya.

Tanpa mereka sadari, ada gadis malang yang terisak di dalam kamarnya. Vita tidak mengetahui secara jelas apa yang mereka berdebatkan, tetapi yang ia tahu itu menyangkut dirinya. Vita tadi memang menenggak minuman yang Deon kasih. Namun, saat lelaki itu keluar dari kamarnya ia segera memuntahkannya ke dalam pot bunga yang ada di kamar. Gadis itu memeluk lutut dan menangis. Air mata seakan berlomba-lomba untuk jatuh dari pipinya.

Mengingat itu Vita mengusap air matanya yang keluar, Anna yang duduk di taksi bersama gadis itu sontak bertanya, “lupain hal menyakitkan itu Vita,” ucapnya, setelah menghabiskan waktu bersama Kareen dan Lulu, Anna memutuskan ikut bersama Vita, ia ingin menginap di rumah kakeknya, lebih tepatnya menghabiskan waktu bersama Vita, karena sudah lama ia tidak menginap bersama Vita.

***

Lalu esoknya hari minggu Anna mengajak Vita jalan-jalan namun gadis itu menolak karena Vita harus merawat Davin, pemuda itu masih belum keluar dari rumah sakit, dan Anna hanya bisa menghela nafas, lalu sekarang Vita tengah berada di rumah sakit.

“Kenapa diem aja?” tanya Davin yang sedang disuapi oleh Vita. Gadis itu terdiam dengan tatapan kosong, bahkan ia tidak mendengar apa kata Davin tadi dan menyodorkan sendok ke mulut Davin, lagi.

Segera Davin menahan lengan Vita yang akan menyuapinya. “Vita?” panggilnya.

Vita tersadar dari lamunannya, buru-buru ia meminta maaf kepada Davin. “Lo ngomong apa tadi?”

Davin sepertinya akan mengurungkan niat untuk bertanya soal tadi, lebih baik ia bertanya hal lain. “Lo ke sini sama siapa?”

“Sendiri,” jawab Vita, lalu tangannya bergerak menyuapi Davin.

Davin menerima suapan bubur yang Vita berikan, lalu menelannya. “Aldo ke mana?”

“Ada rapat OSIS, dia ‘kan sibuk banget akhir-akhir ini, katanya nanti di sekolah kita bakal diadain acara,” jelasnya. Davin mengangguk-anggukan kepala.

OSIS Vs Adik Kelas (END)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang