Chapter 19

13.2K 1.5K 63
                                    

RS

Jeno masih setia menemani Jaemin yang masih belum sadarkan diri. Jeno selalu datang setelah pulang kuliah dan akan pulang jika satu dari empat hyung Jaemin sudah datang. Terkadang dia akan menginap menjaga Jaemin. Taeyong mengizinkannya saja. Dia tahu, adiknya jika sudah berniat tak bisa dibantah. Dan ini sudah seminggu lebih Jaemin tak sadarkan diri.

Hari ini Jeno tidak datang sendiri, dia datang bersama Haechan dan Renjun. Dua sahabat dekat Jaemin dan dirinya. Kali pertama mendapat kabar kecelakaan Jaemin, baik Haechan dan Renjun rasanya nyawa mereka lepas dari raga. Mereka segera pergi ke rumah sakit tanpa pikir dua kali. Sesaat mereka melihat bagaimana kacaunya keempat hyung Jaemin dan keadaan Jaemin yang penuh perban, bahkan lehernya saja harus disangga, membuat tubuh keduanya lemas.

"Nana, kapan bangun? Betah banget tidurnya" gumam Haechan. Jeno mendudukkan dirinya di sofa kamar Jaemin, lalu mengeluarkan laptopnya, membenahi skripsi miliknya. Renjun berdiri di sisi ranjan Jaemin yang lain. Raut kedua namja manis itu nampak begitu sedih.

"Aku keluar membeli makan, kita belum makan kan?" Haechan dan Jeno mengangguk, Renjun pun undur diri. Haechan lalu bangkit dari duduknya, dan pindah ke sebelah sepupunya.

Jeno sempat marah padanya dan Renjun karena menyembunyikan fakta mengenai Jaemin. Namun, semuanya berakhir baik dua hari yang lalu karena rasanya percuma mendebatkan hal yang sudah terkuak, sekarang fokus mereka ada pada Jaemin.

"Jeno, kau akan menginap malam ini?" Jeno menggeleng.

"Yuta hyung bilang akan datang, jadi aku hanya menunggu sampai Yuta hyung tiba." Jawabnya, Haechan mengangguk.

"Perasaanmu pada Jaemin tak berubah, kan?" Jeno menghentikan jemarinya.

"Jika perasaanku sudah berubah, aku tak akan ada disini" Haechan tertawa kecil.

"Tentu saja, bodohnya aku" gumam Haechan.

"Setelah dia sadar, mungkin kami akan membicarakan masalah hati kami masing-masing" Haechan hanya mengangguki ucapan sepupunya.

"Apapun itu, aku hanya berdoa yang terbaik untuk kalian." Jeno tersenyum mendengar perkataan Haechan.

"Kau sendiri, apa sudah official dengan Mark hyung?" Haechan merengut.

"Dia seriusan menggantungkanku" gerutu Haechan, Jeno hanya tertawa pelan.

Jeno bangkit dari duduknya dan mendekati ranjang Jaemin. Dia mengambil baskom di sisi ranjang lalu membawanya ke kamar mandi. Haechan hanya menatap perilaku sepupunya. Tak lama mata Haechan membulat melihat bagaimana dengan telatennya Jeno mengusap tubuh Jaemin dengan lembut menggunakan handuk berbahan halus.

"Dokter Kim bilang dia harus tetap dibersihkan, jadi dia menyarankan ini." Jeno juga memotong kuku Jaemin yang memanjang. Haechan tersenyum tipis melihatnya. Sesayang itu sepupunya pada sahabat manisnya. Jeno membersihkan sisa air tadi di kamar mandi, sekalian mencuci tangan. Sedangkan Haechan duduk manis sembari bermain ponsel hingga Renjun datang membawa makanan. Mereka bertiga pun makan dengan tenang.

Haechan dan Renjun pamit saat jam menunjukkan pukul tiga sore. Jeno masih betah di sana. Revisinya juga sudah selesai, dia tak membutuhkan banyak tenaga, karena tidak banyak yang harus ia revisi.

Jeno meregangkan tubuhnya lalu beranjak dari sofa mendekati Jaemin.

"Mau sampai kapan tidurnya, Jaemin-ah?" Jeno mengusap lembut surai pink Jaemin.

"Hei, kau tak lelah terus tertidur? Aku sudah lelah melihatmu terus terpejam, aku rindu senyumanmu." Jeno masih bergumam, mengabaikan sosok Yuta yang sudah berdiri di depan pintu.

"Jaemin-ah, segeralah bangun, hyungdeulmu, Haechan, Renjun, Taeyong hyung, Ten hyung, dan lainnya sudah merindukanmu." Tangan Jeno beralih mengusap pipi Jaemin.

"Dan aku pun begitu, begitu rindu padamu" lanjut Jeno dalam bisikkan.

"Jeno" panggilan dari Yuta mengalihkan atensi Jeno. Namja berdarah Jepang itu tersenyum pada Jeno.

"Maaf ya sudah merepotkanmu" Jeno menggeleng, dia tak merasa direpotkan sama sekali.

"Apa hyung akan jaga sekarang?" Yuta mengangguk. Jeno pun segera bangun dari duduknya dan membereskan barang-barangnya.

"Kalau begitu ak-"

"Tidak perlu, aku tak masalah kau menemaniku, besok kuliahmu libur, kan?" Jeno mengangguk.

"Apa tak apa?" Yuta mengangguk.

"Kau kan calon adik iparku, tak ada salahnya kan aku mengakrabkan diri padamu" ucapan Yuta membuat pipi Jeno memerah, malu.

"Hyung, aku bahkan belum melakukan apapun" sanggah Jeno.

"Loh, kau benar akan jadi adik iparku karena kakakmu yang pasti akan menikahi Jaehyun kan?" Boleh tidak Jeno memukul Yuta sekarang?

"Oh" respon Jeno datar. Yuta menahan tawanya melihat ekspresi adik dari sahabatnya itu.

"Aku bercanda Jeno-ya, meski itu benar" kekeh Yuta.

"Aku paham sekarang kenapa Taeyong hyung selalu begitu ingin mencekikmu hyung" Yuta tertawa mendengarnya.

"Maafkan aku, oke?" Jeno hanya mendengus dan mengangguk. Ia meletakkan kembali barangnya. Yuta menghempaskan dirinya di samping Jeno.

"Aku merindukan Nanaku" gumam Yuta. Seminggu tidak mendengar rengekan si bungsu membuatnya merasa kesepian.

"Semuanya rindu Jaemin, Yuta hyung" Yuta mengangguki ucapan Jeno.

"Hari itu, setelah kau pergi dari mansion, Jaemin jadi sering melamun, aku yang jengah pun akhirnya bertanya padanya, dia kebingungan dengan sikapmu yang selalu menolak ajakannya. Jaemin tak tahu bagaimana menyukai orang lain bahkan mencintainya. Banyak yang menyatakan perasaannya pada Jaemin, termasuk Sehun hyung, sutradara film terkenal itu, namun Jaemin menolaknya, ia menganggap Sehun hyung sebatas kakak saja, tidak lebih. Saat tahu dia galau hanya karena menolak ajakanmu, aku pun bertanya padanya, memastikan perasaannya, dan dia masih bingung akan perasaannya terhadapmu" Jeno diam mendengarkan perkataan Yuta.

"Tapi, setelah dia tahu dia tak suka saat kau acuhkan, dan kecewa karena kau menolak ajakannya, juga sedih karena kau menjauhinya, dia sadar dia menyukaimu meski aku yakin dia sendiri masih ragu akan itu." Yuta menatap menerawang ke depan.

"Aku dan yang lain menjaga Jaemin dengan ketat, menyeleksi temannya, mengawasinya, kami melakukan itu karena kami tak ingin Jaemin terluka. Kami menyingkirkan semua duri yang memenuhi jalannya, kami hanya ingin kebahagiaan selalu bersamanya. Sejak kecil, dia jadi bahan bullyan temannya, karena parasnya, bakatnya, kecerdasannya, dan kekayaannya. Mereka iri pada Jaemin. Pernah ada yang berusaha membunuhnya malah, namun gagal karena Mark mengetahuinya dan melapor pada kami." Mata sipit Jeno kini beralih dari lantai di bawahnya menuju sosok Jaemin yang terbaring di ranjang.

"Psikis dan fisiknya tak sekuat yang kita lihat. Dia sebenarnya takut api dan suara ledakkan atau suara yang dengan nada tinggi. Dia... sangat rapuh. Keluarga besarku, keluarga Na, selalu ingin mencelakai Jaemin, karena harta waris dari mendiang appa sebagian besar atas nama Jaemin. Aku tidak iri akan itu, Jaemin bahkan tak ingin menerima itu dan memberikannya padaku, sebelum akhirnya berakhir kami membaginya sama rata." Jeno masih diam, membiarkan Yuta bercerita.

"Jika keluarga kami berhasil membunuh Jaemin, maka harta waris itu akan jadi milik mereka. Tapi mereka tak berani melakukan itu secara terang-terangan karena aku akan mengetahui rencana busuk mereka lebih cepat. Aku dan yang lain sebenarnya sangat takut membiarkan Jaemin sekolah di sekolah umum, tapi dia keras kepala, membuat kami akhirnya setuju saja." Yuta menatap Jeno.

"Jeno-ya" namja tampan bermata sipit itu menoleh menatap Yuta.

"Kami berempat sepakat, kami hanya mengizinkamu sebagai pendamping Jaemin, bukan yang lain."
.
.
.
-tbc-

[NOMIN] To LoveTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang