22. Bayangan Tanpa Kiasan

28 13 1
                                    

Mungkin kita memang ditakdirkan seperti hujan yang hanya datang sementara.

🍂🍂🍂

Lia terdiam seribu bahasa. Ia benar-benar bingung ingin menjawab apa, karena memang benar jika kemarin malam ia telah dikuasai oleh alkohol.

“ Maafin saya mas. Tapi emang benar kemarin itu saya gak sadar. Sekali lagi maaf ya mas.” Ucap Lia sambil mengatup kedua telapak tangannya.

Mendengar perkataan Lia, pria itu hanya bisa tersenyum. Lagian mana mungkin Lia serius mengatakan hal itu. Dia saja yang terlalu bodoh, menganggap hal itu adalah hal serius.

“ Kalau kamu mau cerita tentang masalah kamu sama Roni, bisa ceritakan ke saya. Tapi itu pun kalau kamu mau.” Ucap Rian.

Lia menundukkan kepala dan terdiam sebentar. Sampai akhirnya wanita itu kembali membuka suaranya.

“ Sebenarnya saya pacaran sama mas Roni karena terpaksa.”

Rian masih diam sambil melihat wajah Lia dan menunggu wanita itu melanjutkan perkataannya.

“ Dulu waktu saya baru masuk kuliah, ayah saya kecelakaan. Mas Roni pada saat itu lagi mabuk dan tiba-tiba nyerempet ayah saya yang lagi naik motor. Ya mungkin memang udah ajal ayah saya juga. Roni nemui mama saya dan bilang mau tanggung jawab dengan cara bahagiain saya, dan dia juga udah kenal ternyata sama mama karena mama dulu model juga di perusahaan itu. Dan dengan gampangnya mama setuju, sementara saya cuma bisa diam dan ngejalani takdir ini.” Ucap Lia panjang lebar.

“ Tapi kamu sayang sama Roni? ”

Pertanyaan itu sukses membuat Lia kembali terdiam. Sebenarnya ia juga masih bingung dengan perasaannya terhadap Roni.

“ Kalian udah berapa lama pacaran? ” Lanjut Rian.

“ Kurang lebih tiga tahun.” Balas Lia.

Rian tersenyum simpul.

“ April, tiga tahun itu bukan waktu yang singkat. Walaupun kamu kelihatan ragu, tapi saya yakin kamu sayang sama Roni. Cuma kamu masih belum bisa buat nerima kenyataan aja. Kalau kamu gak sayang, kamu gak mungkin ngerasa sesakit itu waktu kalian bertengkar.”

Rian melihat jam tangannya, ternyata waktu sudah menunjukkan pukul lima sore.
Dia pun segera bangkit dari duduknya, dan memutuskan untuk pulang. Tapi baru saja pria itu ingin melangkahkan kakinya, dia merasa ada sebuah tangan yang menahannya.

Rian menoleh ke belakang dan mendapati Lia sedang memegang ujung bajunya sambil menunduk.

“ Mungkin mas Febrian memang benar. Saya udah mulai sayang sama mas Roni, tapi saya aja yang masih belum bisa nerima kenyataan. Makasih mas udah buat saya sadar.” Ucap Lia, lalu ia mendongakkan kepala dan tersenyum kepada Rian.

Rian menghela nafas, kemudian dia mengelus pelan surai hitam milik Lia.

Benar, kamu sudah dimiliki orang lain. Waktu tidak berpihak padaku, karena aku datang terlambat. Mungkin memang benar jika kita hanya sebatas bayangan tanpa kiasan.

Ibunya Lia, Intan, duduk di salah satu café sambil melihat seorang pria yang duduk di hadapannya ini belum berhenti berbicara

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Ibunya Lia, Intan, duduk di salah satu café sambil melihat seorang pria yang duduk di hadapannya ini belum berhenti berbicara. Pria itu sedari tadi masih terus membahas tentang pernikahannya dengan Lia.

Ya, dia adalah Roni.

“ Ma, Roni minta tolong sama mama supaya bujuk Lia.” Ucap Roni memelas pada Intan.

“ Mama juga inginnya seperti itu Roni. Tapi setiap kali mama tanya sama dia kapan kalian akan menikah, dia selalu mengelak. Mama jadi ragu.” Balas Intan.

“Roni sebenarnya juga paham Lia masih sibuk dengan kuliahnya. Tapi Roni juga gak mau kalau kami gak segera menikah, dia lama kelamaan akan punya rasa sama photographer itu.”

“ Photographer? ” Tanya Intan bingung.

“ Iya, photographer baru. Namanya Febrian.”

Intan terdiam sebentar dan mencoba mengingat-ingat pria yang dibicarakan Roni. Setelah cukup lama, akhirnya wanita itu baru mengingat sesuatu.

“ Oh photographer itu. Mama tau karena kemarin sempat liat waktu jumpai Lia di bandara.”

Ketika mereka melanjutkan perbincangan, tanpa sengaja netra milik Intan menangkap sosok seorang wanita paruh baya berambut pendek yang sedang berdiri tak jauh dari café tempat dia duduk.

Intan pun menyipitkan matanya karena memang pengelihatannya sudah mulai kabur.

Bukannya itu….

Bukannya itu…

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.
Februari & April ; Takdir Kala Rintik Hujan [TAMAT]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang