Hai hai...
Seperti biasa ya, jangan lupa vote and comment 😊
Happy Reading!
.
.
.Genangan-genangan air yang disebabkan oleh rintikan hujan membuat sebuah pulau-pulau kecil. Tidak hanya anak kecil saja yang suka bermain dengan pulau-pulau itu, faktanya orang dewasa juga masih suka menginjakkan kakinya disana.
Contohnya wanita berumur 21 tahun ini. Ia sengaja membuat cipratan-cipratan kecil sehingga mengenai ujung celananya." Nyesel gue nemenin lu disini."
Ucap Evi sambil menopang dagunya. Wajahnya terlihat lelah walaupun posisinya sekarang sedang santai. Duduk berselonjor di sebuah kanebo tua dan ditemani dengan es kelapa muda." Yaudah pulang aja sana. Tapi esnya aku habisin."
" Eh jangan dong, kejam banget. Lagian lu tuh ya, main hujan tapi pake payung. Jelasin coba ke gue maksudnya apa? Cantik-cantik aneh."
" Kamu juga, dingin-dingin minum es. Jelasin coba ke aku maksudnya apa? " Jawab Lia sambil meniru suara Evi.
Sedangkan yang ditiru hanya tertawa kecil sambil menendang pelan kaki jenjang Lia." Tapi serius deh Ril, kenapa lu suka banget hujan? "
" Kenapa ya..? " Lia sedikit berpikir sebelum melanjutkan perkataanya.
" Gak tau juga. Gak ada alasan spesifik. Tapi hujan itu indah, sama kayak seni."
Kening Evi mengkerut setelah mendengar jawaban dari Lia.
" Jadi kalau misalkan hujan badai gitu, tetap lu bilang indah? "
Kini gantian, sekarang giliran Lia yang tertawa mendengar pertanyaan Evi." Ya gak gitu juga lah Vi. Tapi nih ya, biasanya setelah badai itu ada cahaya. Sama kayak kata pepatah, habis gelap terbitlah terang. Jadi menurut aku walaupun hujan badai, tetap aja ujung-ujungnya ada cahaya yang datang."
" Jadi, nilai estetiknya terletak disitu? "
" Tepat sekali." Jawab Lia sambil tersenyum.
Pandangannya pun sekarang menatap langit-langit biru yang perlahan mulai mengeluarkan cahaya. Ya, pertanda bahwa hujan sudah reda.
Gumpalan asap yang berasal dari secangkir kopi panas menyeruak dengan indahnya. Asap itu seakan-akan menari karena tertiup oleh hembusan angin nan sejuk. Awalnya sinar mentari yang mengambil alih langit biru, tapi posisinya terlengser oleh awan hitam.
Orang-orang yang awalnya berjalan dengan santai, kini mulai berlari mencari tempat persinggahan karena perlahan butiran-butiran air turun dari langit secara memburu.
Raut wajah pria berumur 24 tahun yang sedang menikmati kopi panasnya mulai berubah.
Awalnya raut itu tampak biasa-biasa saja, sampai ketika hujan turun dengan derasnya dan didampingi oleh suara-suara petir, raut wajah pria ini menjadi cemas.Seketika ia mulai melupakan minuman panas yang ada dihadapannya ini dan mulai menenggelamkan kepalanya di sela-sela lengan. Hanya itu yang bisa ia lakukan mengingat posisinya sekarang ini sedang berada di tempat umum, yaitu sebuah coffee shop.
" Ma, kenapa ada orang takut hujan? "
" Mungkin mereka punya alasan masing-masing sayang."
" Tapi aku gak takut hujan! "
" Wah.. kenapa begitu? "
" Karena kalau hujan, mama selalu ada di samping aku buat meluk aku, buat nenangin aku, dan bacakan aku dongeng supaya aku tidur biar gak dengar suara petirnya."
Suara seorang wanita paruh baya dan anak lelaki tunggalnya yang berusia tujuh tahun masuk ke dalam indra pendengaran pria ini. Mereka duduk di belakang pria yang masih setia menenggelamkan wajahnya tersebut.
Percakapan itu sukses membuat cairan bening mengalir dari pelupuk mata pria ini dan membasahi pipinya. Entah mengapa hatinya terasa begitu sakit ketika mendengar seutas percakapan singkat itu.
Apakah ia masih bisa merasakan pelukan hangat dari seorang ibu? Atau suara merdu dari seorang ibu? Mungkin tidak. Bahkan ia tak ingat kapan terakhir kali sang ibu memeluknya dengan lembut.
" Aku benci hujan. Tapi aku suka hujan... saat enam tahun yang lalu. "
KAMU SEDANG MEMBACA
Februari & April ; Takdir Kala Rintik Hujan [TAMAT]
Romance[CERITA SUDAH TAMAT] Kejadian enam tahun lalu, disaat rintik hujan membasahi kota Jakarta, seorang wanita yang lahir di bulan April dan bekerja sebagai model sekaligus pecinta karya sastra klasik, bertemu dengan seorang photographer jalanan yang lah...