Hai, aku masih inget update kok 😂 tapi emg lagi sibuk banget karna nyelesaiin dua novel. Satunya buat lomba:")
Doain aku ya!Oh iya, yg puasa masih semangat kan?
Kalo puasanya semangat, baca dan votenya juga semangat dong! 🙈
Okelah, happy reading!
.
.
.Farah, ibunya Rian, terlihat sedang mencari sesuatu dari dalam tas besarnya yang kemarin dia bawa. Wanita itu terlihat sedikit kesal karena apa yang dicarinya belum juga ketemu. Kemana secarik kertas putih itu pikirnya. Tapi Farah tidak menyerah dan terus mencari kertas tersebut.
Beberapa pasang baju berserakan di lantai kamar Rian. Tentu saja itu perbuatannya. Hingga beberapa menit kemudian, kertas yang digulung kecil itu dapat. Farah tersenyum sumringah, tapi lama kelamaan raut wajah itu berubah seketika. Menjadi raut wajah kebencian dan penuh amarah.
“ Liat aja kamu Intan, saya akan cari kamu sampai dapat, dan merebut kembali apa yang seharusnya menjadi milik saya. Setelah bertahun-tahun lamanya.”
Bukan kota Jakarta jika tidak dipenuhi berbagai macam transportasi. Mulai dari mobil, sepeda motor, dan bus memenuhi jalanan. Macet, sudah menjadi santapan sehari-hari di ibu kota ini.
Farah mendengus kesal. Dia melihat jam tangannya karena waktu juga sudah sore. Jika dia terlambat balik ke kosan, bisa-bisa Rian menghujaninya dengan beribu pertanyaan. Dulu memang pria itu tidak berani berbicara apa-apa dengan Farah. Tapi sekarang, dunia terus berjalan. Dan Rian juga sudah tak segan lagi berkata tegas pada orang yang disebutnya ibu itu.
Farah pun memutuskan untuk turun di simpang empat. Dia mengambil ponselnya dan membuka aplikasi hijau untuk memesan ojek online, daripada naik angkutan umum pikirnya. Wanita itu berdiri di dekat sebuah café ternama sembari menunggu.
….Intan bangkit dari duduknya dan berkata pada Roni. “ Ron, besok aja kita lanjut lagi ya. Mama ada urusan sebentar.”
Roni menautkan kedua alisnya melihat Intan yang tengah terburu-buru merapikan tasnya.
“ Kenapa ma? ” tanya Roni bingung.
“ Ada urusan penting.”
Intan langsung keluar dari café tersebut tanpa memperdulikan Roni yang masih bertanya-tanya di dalam sana. Dia ingin memastikan jika wanita berambut pendek itu orang yang selama ini menghilang tiba-tiba dari kehidupannya atau tidak.
Dengan sepatu heels hitamnya kaki itu terus berjalan. Tapi tanpa diduga, sebuah mobil melaju kencang dan melintasi genangan air yang cukup besar, sampai-sampai cipratan air tersebut mengenai rok yang dikenakannya.
Intan menghela nafas pelan, dan menghiraukan hal itu. Dia langsung berjalan cepat agar bisa menjumpai sosok tersebut. Tapi sayangnya, wanita berambut pendek tadi sudah menghilang entah kemana. Dengan spontan Intan mendecak kesal. Salahkah jika dia ingin bertemu dengan seseorang yang sudah lama tidak dijumpainya?
Lia baru mengingat jika ada sebuah dokumen penting tentang mata kuliahnya yang tertinggal di rumah mamanya. Evi yang mengetahui itu hanya bisa menepuk keningnya pasrah.
“ Setelah mas Febrian dateng baru lu inget semuanya? ” kata Evi sambil melipat tangannya di dada.
“ Bentar doang Vi.”
Evi menghela nafas. “ Tapi lu gak lupa kan kalo sekarang gue nginep? ”
“ Enggak kok, tenang aja,” balas Lia sambil mengenakan sepatunya. Sementara Evi hanya diam.
Lia bangkit dari duduknya lalu segera berpamitan pada Evi yang sedang pura-pura merajuk. “ Aku pergi dulu Vi. Jangan lupa kunci pintu sama tutup jendela. Soalnya suka ada mamang-mamang ngintip.”
Evi langsung bergidik ngeri.
Jadi Lia sering diintipin mamang-mamang?
….“ Assalamualaikum, ma? ”
Lia menekan bel rumahnya yang tak kunjung ada jawaban. Dia pun memutuskan untuk langsung menekan password rumahnya.
“ Loh, mama belum pulang ya,” monolog Lia.
Setelah sampai di kamarnya, wanita itu pun memutuskan untuk merebahkan dirinya sejenak. Lia memejamkan matanya sambil tersenyum. Sudah lama sekali rasanya dia tidak tidur di kasur empuk bewarna pink ini. Terakhir kali saat SMA. Semenjak Lia memutuskan untuk tinggal di kosan, dia sangat jarang hanya untuk sekedar menginap di rumahnya.
Lia menoleh ke samping, dan manik matanya melihat sebuah bingkai foto kecil yang terletak di atas nakas putih miliknya. Lia meraih bingkai foto tersebut kemudian melihat foto yang terpajang di sana.
“ Papa.. apa kabar ya? ” ucap Lia sambil tersenyum.
Baru beberapa menit dia memandangi foto itu, airmata sudah mengalir dari pelupuk matanya. Lia tersenyum rapuh, dia sangat merindukan sosok pria di balik bingkai foto tersebut. Jika mengingat tentang ayahnya, perasaan marah terhadap Roni perlahan menguap. Tapi Lia juga sadar, jika dia tidak boleh terus-terusan seperti itu, dan harus menerima takdir.
“ Maafin Roni sialan itu ya pa. Lia sebenarnya juga udah maafin dia kok. Tapi belakangan ini dia aneh pa, posesif banget. Entah kerasukan apa Lia juga gak ngerti. Tapi ada cowok yang tiba-tiba dateng di kehidupan Lia, namanya mas Febrian. Gak tau kenapa, beban Lia jadi terangkat gitu kalo sama dia.”
Lia tersenyum karena mengingat hari-hari yang pernah dilaluinya bersama Rian.
“ Mas Febrian itu lucu. Masa dia takut sama hujan karena suara petirnya,” Lia kembali terkekeh saat mengingat kejadian di minimarket waktu itu.
Eh?
Lia memegangi dadanya. Dia tiba-tiba merasa jantungnya berdegup kencang hanya karena mengingat Rian. Apalagi, saat Rian menggenggam tangan wanita itu, dan memberinya sebuah kalung sebagai hadiah ulang tahun. Bahkan Roni kekasihnya sendiri tidak ingat hari ulang tahunnya.
Ting nong!
Lia terperanjak kaget saat mendengar bel rumahnya berbunyi, Dengan segera wanita itu meletak kembali bingkai foto tersebut, lalu berjalan untuk membuka pintu itu. Mungkin Intan sudah pulang pikirnya.
“Ma— eh bukan ya,” Lia tersenyum kaku saat melihat seorang wanita paruh baya berambut pendek berdiri di hadapannya.
“ Maaf, tapi tante mau cari si— ”
“ Intan,” potong wanita itu.
Lia berusaha tersenyum, walaupun hatinya sedikit jengkel. “ Dengan tante siapa ini? ”
“ Farah.”
KAMU SEDANG MEMBACA
Februari & April ; Takdir Kala Rintik Hujan [TAMAT]
Romance[CERITA SUDAH TAMAT] Kejadian enam tahun lalu, disaat rintik hujan membasahi kota Jakarta, seorang wanita yang lahir di bulan April dan bekerja sebagai model sekaligus pecinta karya sastra klasik, bertemu dengan seorang photographer jalanan yang lah...