Saat aku menepuk-nepuk dadaku tiba-tiba tepukan itu terhenti karna tertahan oleh seseorang yang menggenggam pergelangan tanganku sangat erat. Sontak aku langsung membuka mataku perlahan yang ternyata kini kian sayu. Aku melihat Steven yang berdiri dan berusaha menyetarakan tubuhnya denganku.
"Pertahankan kesadaranmu." Ucap Steven yang kemudian menggenggam pipiku dan menepuk-nepuknya pelan.
"Jangan kamu tepuk dadamu itu, nanti semakin parah." Ucapnya kembali dengan tangan yang memijat jari-jari tanganku.
"Kamu sedang apa?" Tanyaku heran.
"Memperlancar aliran darahmu. Sejak kapan kamu seperti ini?" Tegasnya.
"Sejak lahir, jantungku lemah." Jelasku yang kini mulai membaik.
"Atur nafasmu dengan baik. Saya sudah bilang kamu tunggu saja disini, kamu keras kepala." Gerutunya.
"Ini keinginanku, lagipula aku tidak apa-apa." Ucapku diiringi dengan senyumanku.
"Kenapa kamu keluar?" Tanyaku heran.
"Gadis itu bilang wajahmu pucat dan tanganmu gemetar." Sahutnya.
"Dia pintar jago mendiagnosis orang." Ucapku yang kemudian tertawa kecil.
"Kamu yang terlalu bodoh." Celotehnya yang kemudian melepas sepatuku.
"Eh what are you doing?" Tanyaku heran ketika Steven mulai memijat telapak kakiku.
"Kamu tidak bisa lihat saya sedang apa?" Cetusnya yang masih memijat telapak kakiku.
"Kamu pindah ke Indonesia dan jadi tukang pijat, cocok." Celotehku yang kemudian dibalas dengan tatapannya yang tajam.
"Wanita itu gimana?" Tegasku.
"Berkatmu dia baik-baik saja. Dugaanmu benar, itu pembersih lantai." Sahutnya.
"Masih meragukanku?" Celotehku yang kini dibalas dengan kekehannya.
Setelah selesai kami berdua berjalan menyusuri jalan setapak untuk kembali ke mobil dan kembali ke apartemen yang tentu saja Steven yang menyewakannya. Namun, entah apa yang ia pikirkan ia berjalan mendahuluiku tanpa berfikir untuk menggendongku dan semacamnya.
"Saya kan tadi hampir pingsan, kamu tidak ingin menggendongku atau semacamnya? Saya lelah!" Seruku menggerutu mengekori Steven yang berjalan membawa box obat tanpa menoleh ke belakang.
"Jantungmu jangan di manjain, kalau sudah ada gejala seperti tadi baru kamu boleh mengeluh." Cetusnya.
"Aduh saya pusing." Celotehku.
"Bohong."cetusnya yang masih mempertahankan langkahan kakinya tanpa menoleh ke arahku.
"Kalau saya pingsan, kamu akan gendong saya?" Tanyaku iseng.
"Tentu saja tidak, saya minta tolong beberapa warga. Kamu berat." Celotehnya.
"Steven!" Gertakku yang sepertinya dibalas dengan tawanya yang membelakangiku.
Hari mulai larut, hanya ada lampu sorot mobil yang menerangi jalan. Aku menatap resah melihat kegelapan dari jendela mobil, tak lama kemudian Steven menyalakan lampu didalam mobil dan kembali fokus menyetir.
"Ada saya, apa yang mesti kamu takutkan?" Tanyanya.
"Tak ada Arya." Celotehku yang kemudian mengeluarkan sapu tangan dan menggenggamnya dengan sangat erat.
"Kamu tidak menelfonnya?" Tanyanya kembali.
"Nanti saat di apartemen. Saya ingin bertanya." Ucapku.
KAMU SEDANG MEMBACA
Hy Enemy! I MISS YOU. [LENGKAP]
Teen Fiction"Salam dari wajah sinis tak bermakna, menyimpan kecewa tanpa sepatah kata. Dengan segala hati yang terisi sepihak, membuat goresan luka kembali dan tersayat semakin dalam. Lalu air mulai menggenang di pelupuk mata, jika harus menyaksikan sang bulan...