15|• Satu Sama Lain

271 13 0
                                    

Assalamualaikum temen-temen.

Udah lama aku gak nyapa dan udah lama juga kalian nunggu up dari cerita ini.

Maaf ya reads dan penganggum Gibran Fahreza. Aku lagi persiapan uji kompetensi untuk kelulusan. Banyak waktu yang harus aku bagi-bagi.

Sebentar lagi bulan suci Ramadhan. Mohon maaf kalo aku ada salah. Semoga kalian sehat selalu dan gak bosen nunggu up dari aku.

Thank you❤️

***

Gibran baru saja sampai di rumah Vina. malam ini rasanya sangat dingin, hujan di awal bulan Maret bukanlah hujan yang biasa. Hujan yang deras diikuti dengan angin membuat malam semakin mencekram, tetapi ini bukan narasi dari novel horror, jangan membayangkan sesuatu yang di luar nalar.

Gibran membuka helm, tetapi tidak dengan sarung yan ia kenakan. Ia mengambil langkah perlahan dan mengetuk pintu rumah Vina, lalu mengucap salam. Namun, tak ada jawaban, tetapi ia tak akan menyerah. Ia mengucap salam lebih keras dan mengetuk pintu layaknya mengajak perang.

Gibran membalikkan badannya menatap daun pada pohon-pohon yang tertiup angin cukup kencang. Ia memegang lehernya karena tiba-tiba merasa merinding terbawa suasana yang semakin mencekram.

"Gibran."

seseorang memanggil namanya. karena merasa takut, Gibran tak berani membalikkan badan secara kilat ia melakukannya secara perlahan-lahan, dan akhirnya ia melihat sosok perempuan dengan mukena serba putih yang membuat dirinya berteriak reflek.

"Haaaa!" sorak Gibran.

"Haaa! Haaa!" sorak Iren juga yang terkejut.

"Tante," ucap Gibran saat sadar.

"Kamu kenapa teriak?" tanya Iren.

Gibran tersenyum. "Gibran kira kuntilanak. Makannya Gibran kaget."

Gibran tersenyum karena merasa bersalah. Ia telah mengira Iren adalah kuntianak. Cara berpakaian Iren membuatnya terkejut, terlebih lagi suasana malam ini mengajaknya mengingat kejadian-kejadian mistis.

"Kamu kira kuntilanak bisa buka pintu?" tanya Iren menyinggung.

"Maaf, Tante."

"Kamu ke sini mau apa, Gibran? Cari Vina?" tebak Iren.

"Hah! Iya tante, Vina ada?" tanya Gibran.

"Tante gak tahu anak itu dimana," jawab Iren tanpa perduli.

"Kalo gitu Gibran pamit, Tante," ucap Gibran seraya mencium tangan Iren lalu membalikkan badan ke arah motornya.

Angin masih bertiup ke arah timur. Gibran semakin merasa bahwa Vina tidak dalam keadaan baik-baik saja. Dari sana juga Gibran mendengar Iren menutup pintu dan pergi.

Drttdrtt

Ponsel Gibran bergetar ia pun meraih ponsel di dalam saku celana pendeknya yang tertutup sarung. Alhasil Gibran mengangkat sarungnya untuk menjawab telpon. Gibran melihat kanan kirinya karena ia takut seseorang memperhatikannya.

"Papa," lirihnya pelan.

"Kenapa Papa nelpon? Apa mobil Papa mati?" lanjutnya bertanya-tanya.

Tak mau salah dalam menebak-nebak akan tujuan papanya menelpon, Gibran langsung menjawab telponnya.

"Iya, Pa. Kenapa?" tanya Gibran.

"Aku di rumah Vina. Vina hilang, Pa,"

"Di rumah sakit?!"

1 Hati 2 Raga [Selesai]√Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang