Vina menatap pantulan wajahnya pada cermin. Matanya sembab karena sudah setengah jam lebih dirinya menangis. Gadis itu mengusap air mata yang ada di pipinya menggunakan tangan kanan dan melepaskan pisau dapur. Beberapa menit yang lalu, dengan gila gadis itu berniat bunuh diri, tetapi hanya tangannya yang ia lukai kali ini.
Ia menyesali hidupnya. Perjalanan yang ia mulai dengan tujuan mencari kepercayaan sang mama, kini berakhir tidak sesuai dengan keinginannya. Pertemuannya dengan Leon menjadi mimpi baru sekaligus ancaman yang luar biasa. Terkadang untuk mendapatkan sesuatu, kita harus mengorbankan yang berharga. Cinta selalu mengajarkan hal itu. Cinta memang egois, ia tidak ingin kita memiliki kebahagiaan,itu sebabnya saat kita bahagia ada sesuatu yang sedang kita pertaruhkan dan itu akan menjadi sebuah penyesalan suatu hari nanti.
Jalan pikirannya buntu, ia tetap fokus pada tujuannya untuk aborsi. Anaknya tidak ia izinkan lahir ke dunia hanya untuk mengulang kisah lamanya. Ia mengingat kembali semua derita semasa ia belum mengenal Leon. Ia pula mengingat semua kebahagiaan bersama lelaki itu dan para sahabatnya. Namun, satu hal yang ia ingat saat menemukan nata Gibran pada otaknya. Buah nanas! Tak ada yang cara yang lebih baik dari memakan buah nanas saat hamil. Ia mengenal seseorang untuk membawakannya buah nanas.
Gadis itu berjalan keluar dari kamarnya dan tujuannya adalah mengambil ponselnya yang tertinggal di dapur dan menelpon orang yang ia bicarakan tadi.
****
Vina membersihkan darahnya yang sudah mengering, kini ia duduk dan menelpon seseorang.
" Mang Deli ...... Ini Vina, Aku pesen buah nanasnya tiga atau berapa kek gitu," pesan Vina..
"Bukan buat Gibran, Mang, tapi buat saya..... Ah lagi pengen buah nanas. Sekalian mau bikin kue buat Gibran. Kalo gitu anterin ke rumah, ya, Mang" jawab Vina dengan memerintah pada Mamang tukang buah itu.
Pip!
Vina melihat tangannya yang tadi berdarah. Ternyata luka yang ia buat cukup dalam hingga darahnya sedikit keluar walau sudah dibersihkan, dirinya tidak ada niatan sedikit pun untuk menyembuhkan luka tersebut. Luka ditangannya akan mengingatkan dirinya bahwa pada saat itulah Vina kehilangan cintanya dan juga segalanya.
Vina tidak pernah membayangkan jika jalan takdirnya akan seburuk ini. Ia hanya berharap jika semua hal buruk ini berakhir.
"Paket!" seru orang di luar sana.
Vina tersadar dan keluar untuk mengambil paketnya. Ia sudah menduga sebelumnya jika itu pasti Mang Deli yang baru saja ia telpon.
"Ini nanasnya, Neng," kata Mang Deli.
"Makasih, Mang," ucap Vina mengambil buahnya dan memberikan uangnya.
"Kembaliannya?" tanya Mang Deli.
"Gak usah. Buat ongkir aja," jawab Vina.
"Mau bikin kue apa, Neng?" tanya Mang Deli lagi.
"Kue nanas lah, mang, masa kue stoberi. Kan saya belinya nanas," jawab Vina bercanda.
"Ih iya Mamang lupa. Kalo beli nanas berarti mau bikin kue nanas, ya," ucapnya tertawa pelan.
Vina merespon dengan senyuman. Tatapan Mang Deli kini tertuju pada tangan Vina yang berdarah. Gadis itu sadar akan tatapan Mang Deli, dengan cepat ia menyembunyikan tangannya, Mang Deli merasa curiga. "Eh, Neng, tuh tangan kenapa?" tanya Mang Deli.
"Gak papa, Mang, tapi gak sengaja," bohong Vina.
"Kalo gitu Mamang pamit, Neng," pamit Mang Deli menyalakan mesin motornya.
Vina mengangguk kecil. "Iya, Mang."
-****
Vina menatap ragu buah nanas di hadapannya. Dirinya masih belum membersihkan luka di tangannya. Gadis itu tidak ingin mencintai laki-laki yang menyakitinya juga mamanya. Luka itu benar-benar membuat ia selalu membenci Leon disetiap kegiatannya.
KAMU SEDANG MEMBACA
1 Hati 2 Raga [Selesai]√
Novela Juvenil[FOLLOW SEBELUM BACA!] √ "Kamu selalu berhasil membuat aku terluka. Tapi aku selalu gagal membencimu." ___________________________________________________________________ Kisah cinta yang diperankan oleh gadis dengan takdir buruk bernama--Lavina Hel...