33|• Efek Bumil

276 10 1
                                    

Pagi ini Vina keluar dengan baju tidurnya. Ia belum sempat mandi dan membersihkan tubuhnya. Panggilan lembut dari Iren masuk dengan sopan ke telinganya sehingga dirinya terbangun dengan wajah yang ceria.

"Pagi, Sayang," sapa Iren pertama kali dengan menyiapkan roti favoritnya.

Vina menatap meja penuh dengan makanan. Sepertinya akan ada pesta pagi ini. Semua makanan yang Iren siapkan dengan penuh kasih sayang. Tak lain dan tak bukan itu semua adalah sebuah cara untuk menyampaikan permintaan maafnya.

"Mama masak banyak banget. Pesta pagi, kah?" tanya Vina yang menarik kursi dan duduk.

Iren tersenyum meresponnya. Wanita yang disebut seorang ibu itu sedang menyiapkan sepiring nasi goreng dan tak lupa menyiapkan airnya. Melihat itu membuatnya tersenyum. Ibunya berubah 180 derajat menjadi ibu yang lebih baik.

"Makasih, Ma."

Iren tak menjawab dan langsung duduk. Ia mengambil satu sendok nasi untuk disuapnya, tetapi ada pertanyaan yang membuatnya menghentikan kegiatannya.

"Kamu udah nerima Gibran?"

Vina seketika itu menghentikan kegiatannya. Ia menelan sisa roti yang ada dimulutnya. Pertanyaan Iren sangat menyinggungnya.

"Vina gak mau bahas itu," elak Vina.

"Ini harus dibahas. Mama gak mau anak kamu lahir tanpa ayah," ucap Iren.

"Anak Vina masih punya Vina. Jadi Vina belum kepikiran untuk ngorbanin Gibran dalam masalah Vina. Dia udah banyak bantu Vina selama ini," jawab Vina.

"Tapi ini kemauan Gibran bukan paksaan dari kita. Jadi apa salahnya?" tanya Iren.

"Mama gak ngerti!" seru Vina.

Iren diam. Mungkin memang dirinya tidak mengerti akan perasaan Vina. Dirinya tidak tahu apa yang membuat anaknya menolak pernikahan ini. Mungkin ia terlalu jauh mencampuri urusan anaknya tanpa mengenal siapa sosok anaknya.

"Mama tahu kamu lebih cinta Leon dan kamu gak mau menikah tanpa cinta," ucap Iren.

Vina tersinggung oleh ucapan Iren hingga reflek menatapnya sedikit memelas. Mamanya masih menganggap cinta dihatinya masih milik Leon. Itu memang benar, tapi hanya setengahnya. Dirinya tidak ingin mengingat apapun lagi mengenai laki-laki brengsek itu.

"Bukan gitu, Ma. Maafin Vina. Vina cuma gak mau repotin Gibran lagi," ucap Vina.

"Tapi Gibran itu cinta sama kamu."

"Tapi Vina? Mama sendiri tahu betul bukan perasaan Vina?" tanya Vina.

Iren diam kembali. Kali ini ia tahu jika tujuan ucapan Vina mengarah ke arah mana. Dirinya tidak bisa memarahi gadis itu kembali. Gadis itu memang sangat mencintai mantan suaminya dan ia pun tahu jika lelaki itu juga sama mencintai Vina. Ia tidak bisa jadi penengah dan menghancurkan kebahagiaan anaknya.

"Mama jangan berpikir aku nolak Gibran karena Bang Leon. Vina udah gak mikirin Bang Leon lagi. Vina cuma perlu waktu buat nerima Gibran. Cuma itu aja," ucap Vina.

Iren pun mengangguk pelan. "Iya Mama ngerti," balas Iren dengan datar.

"Mama marah?" tanya Vina.

Iren menggeleng. "Enggak. Mama berangkat kerja dulu. Kamu lanjutin sarapan aja," ucap Iren mengambil tasnya dan mencium puncak rambut Vina.

"Hati-hati, Ma."

"Iya, Sayang," jawab Iren pergi.

"Maaf, Ma. Cinta ini terlalu dalam hingga menggiring aku untuk berbohong. Bagaimana pun cinta ini datang dari hati dan aku akan berusaha mengikhlaskan segalanya mulai sekarang," ucap Vina pelan dengan menatap kepergian mamanya. Vina pun melanjutkan sarapannya.

1 Hati 2 Raga [Selesai]√Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang