14|•Satu Kebenaran

328 16 0
                                    

"Leon!" teriak Vina memanggil kekasihnya yang sibuk membereskan barang dan hendak pergi.

Leon menoleh ke arah suara dan melihat kanan kirinya untuk memastikan bahwa di hadapannya benar Vina atau orang lain. Vina mengikuti apa yang menjadi pergerakan Leon, sepertinya kekasihnya sedang menyediki dan akan mempertanyakan keberadaan.

"Cariin apa, pacar?" tanya Vina membuat Leon fokus menatapnya dengan mantap.

"Kamu bolos?" tanya Leon.

"Iya."

"Sama Gibran?" tanyanya lagi.

Vina menggeleng. "Aku sendiri. Emangnya kalo aku sama Gibran, kamu cemburu?" godanya.

Leon menggeleng sedikit ragu. "Nggak, gitu. Biasanya kamu sama Gibran udah kaya kacang."

Vina tertawa cekikikan dan sedikit menggelengkan kepalanya. seharusnya Leon menanyakan alasan kenapa dirinya bolos, bukan tentang siapa yang bolos dengan dirinya.

"Kok, kamu malah ketawa?" tanya Leon mengkerutkan dahinya.

Vina menghentikan tawanya. "Kamu cemburuan juga, ya."

"Udah mending kamu balik ke sekolah. Aku mau balik lagi ke kantor," tangkas Leon.

Vina menekuk bibirnya karena merasa Leon menyibukkan diri dikala ia merindu.

"Gak usah cemberut. Nanti sore kita pergi," bujuk Leon yang melihatnya cemberut.

Vina pun tersenyum berseri-seri kala menerima ajakan yang akan menjadi hal paling romantis dalam hidupnya.

-1 Hati 2 Raga-

Sesuai dengan apa yang diajukan tadi pagi, Vina dan Leon pergi ke pantai untuk menikmati senja di sore hari. Vina duduk di pinggir pantai menunggu kedangannya Leon dengan makanan yang sudah ia pesan.

"Ini," ucap Leon yang memberikan kelapa muda yang segar pada Vina lalu duduk di sampingnya.

"Makasih, pacar," balas Vina menerima kelapa dengan tersenyum.

Leon tidak merespon apa pun, ia langsung duduk di samping Vina dan menyaksikan senja bersama.

Sudah cukup lama tak ada pembicaraan diantara mereka, yang ada hanyalah deburan ombak dan suara angin yang mengajaknya menyejukan hati walau hanya sejenak. Vina me-reflesh-kan pikirannya dari setiap masalah dengan mamanya yang tak kunjung selesai.

"Vin," panggil Leon membuat Vina menoleh perlahan seraya tersenyum.

"Kamu tahu apa persamaan dan perbedaan kamu dengan senja?" tanya Leon.

Vina tersenyum. "Apa?"

"Perbedannya adalah kamu tidak seperti senja yang hanya singgah. Aku yakin kamu selalu di samping aku, 'kan?" tanyanya.

Vina mengangguk pelan dan sedikit yakin. "I-iya. Lalu?"

Lalu yang Vina tanyakan adalah persamaannya dengan senja.

"Kamu dan senja sama-sama indah."

Vina tertawa pelan. Ia merasa bahagia dengan hubungan palsunya dengan Leon. Entah Leon masih menganggap isi palsu atau asli, baginya sama saja. Vina mengetahu kalau Leon sudah memiliki calon istri. Baginya ini adalah pilihan yang sangat sulit. Tetap singgah menjadi perusak dan menyakiti wanita lain, atau pergi untuk menyakiti diri sendiri.

"Bagi aku kamu bukan hanya senja atau arti dari semua isi semesta ini."

Leon terdiam dan membiarkan Vina memberitahu siapa arti dirinya daalam hidup Vina.

"Kamu tidak aku artinya apa pun. Aku sadar siapa aku, dan apa posisiku," lanjutnya.

"Maksudnya?"

Vina menarik nafas dalam-dalam. Mungkin Vina tidak punya hak atau bahkan tidak akan pernah. Mempertanyakan posisinya dalam hati Leon adalah sebuah kesalahan. Bisa saja Leon akan tersinggung dengan pertanyaan ini.

"Aku siapa kamu sebenarnya?" tanya Vina.

Leon sedikit mengkerutkan dahinya. "Kamu pacar aku, Vin."

"Bohong!"

"Kamu gak lebih menganggap aku seperti Reon, sebagai adik. Hanya adik," perjelas Vina.

Leon semakin kebingungan. Pertanyaan Vina sangat tidak masuk akal. Entah racun apa yang membuatnya mempertanyakan status ini. Leon awalnya meminta Vina menjadi kekasih palsunya, tetapi saat ini perasaan Leon sungguh kepadanya.

"Kita awalnya emang bohongan pacarannya, tapi aku punya perasaan sama kamu itu sungguh," jawab Leon menepis tuduhan Vina.

"Kalo kamu punya perasaan sama aku, tapi kenapa kamu mau nikahin perempuan lain?"

Bukannya kesal, Leon memilih tersenyum melihat wajah Vina yang penuh cemburu. Kini, ia yakin bahwa bukan hanya dirinya yang memiliki perasaan, tetapi juga dengannya.

"Kok, malah senyum-senyum?" tanya Vina sedikit kesal.

"Muka kamu lucu parah kalo lagi cemburu," jawabnya.

Vina pun memukul tangan Leon saking kesalnya. Leon tertawa bersama dengan Vina di depan senja yang merah mereka memanjakan mata. Namun, Leon memandang ke arah lain, wajah Vina memucat seketika.

"Vina?" panggil Leon.

Vina terdiam setelah panggilan itu ia dengar. Kepalanya seketika sangat sakit, dan pandangannya sedikit demi sedikit kabur. Tak lama ia menutup mata dan tak mengingat segalanya

-1 Hati 2 Raga-

Gibran baru saja selesai makan malam, kini ia akan beranjak ke kamar untuk Shalat Isya yang tertunda. "Aran ke kamar dulu, Bun," pamit Gibran.

"Ya udah, Bunda mau lanjut nonton Drakor lagi," ucap Ayu.

Gibran mengangguk tanda mengiyakan apa yang bundanya ucapkan. Virus Korea sudah menyebar hingga ke rumahnya. Ia berjalan perlahan ke arah kamarnya. Namun, saat keberadaan Vina di hadapannya suasana rumah akan berbeda. Seketika dirinya menghentikan langkah memikirkan keadaan Vina. Sejak tadi pagi ia sudah kehilangan jejak mengenai Vina, dan kini dirinya belum mendapat kabar dari Vina.

-1 hati 2 Raga-

Gibran selesai melaksanakan Sholat Isya, dan melanjutkannya dengan berdzikir. Gibran menoleh ke arah jendela karena kilat tiba-tiba terdengar bergemuruh. Pikirannya mengarah pada kondisi Vina, tetapi ia mencoba untuk tenang dan melanjutkan kegiatannya.

Tiba-tiba petir menggelegar cukup keras Gibran beristigfar, dan pada saat itu pula bingkai fotonya terjatuh dari atas laci. Gibran menatap ke arahnnya dan beranjak pergi untuk mengambilnya. Fotonya dengan Vina yang jatuh. Gibran mengambil foto dan memisahkannya dari serpihan kaca yang pecah.

"Ada apa ini?" tanya Gibran semakin yakin akan sesuatu buruk yang sedang terjadi. ia meningat jika Vina pernah pingsan karena bola basket lemparannya.

Gibran pun melipat sajadahnya dan melepas pecinya. Ia menyimpan semua itu di atas tempat tidurnya. lalu, ia mengambil ponselnya dan turun dari kamarnya.

"Mau ke mana kamu, Gibran?" tanya Ayu yang sibuk menonton drakor di ruang tengah.

"Ke rumah Vina, Bun," jawab Gibran.

"Ngapain? Di luar ujan. Emang tadi di sekolah gak puas ketemunya?" tanya Ayu lagi tanpa menatap ke arah Gibran.

"Vina tadi gak sekolah, itu sebabnya Gibran khawatir sama Vina, Bun," jawab Gibran lagi.

"Ya tapi di luar ujan Gibran. Nanti kamu sakit," larang Ayu kali ini menyimpan bukunya dan menatap Gibran.

"Kali ini, aja, Bun. Gibran pake mantel ujan, deh. Perasaan Gibran gak enak banget," pinta Gibran.

"Ya udah. Kamu hati-hati, dan lepas dulu sarung kamu," pasrah Ayu dengan sedikit kecemasan.

Gibran menatap sarung yang masih ia kenakan, tetapi masa bodoh. "Nanti, aja, Bun."

Gibran langsung pergi ke garasi dan mengeluarkan motornya. Ia memakai jas hujan dan memakai helmnya. Motornya melaju di jalanan yang dibahasi air dan gelapnya malam. Tujuannya adalah rumah Vina.

1 Hati 2 Raga [Selesai]√Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang