34|• Leon?

267 8 0
                                    

Vina menerima pesan dari Leon dengan nomer barunya. Sebenarnya ia malas dan tak ingin menemui Leon lagi. Namun, hatinya menarik untuk menemuinya. Dirinya hanya takut jika mamanya tahu mengenai pertemuan ini. Dirinya memang masih bimbang untuk menerima lamaran Gibran. Vina merasa jika dirinya terlalu banyak merepotkan Gibran.

Seperti biasa. Ia duduk di dekat kaca bening kafe harmoni. Tempat yang selalu menjadi favoritnya. Vina kembali teringat saat kebersamaannya dengan Leon. Saat dimana kebenaran tidak menghancurkan suasana hatinya.

"Kamu suka bunga mawar, 'kan?" Tanya Leon dengan memberikan satu tangkai bunga mawar.

Vina tersenyum dan mengangguk pelan. Tangannya meraih bunga yang Leon berikan. Ia sangat terhibur dengan satu tangkai bunga mawar. Kisah pura-pura ini kemudian menjadi nyata, dan rasa nyaman mulai membuatnya lupa posisi.

"Makasih."

Leon tersenyum karena Vina menerima bunga mawar darinya. Tak lama dari itu seseorang datang di hadapannya. Vina tersadar akan lamunannya. Leon datang dan membuatnya sedikit kaku.

Vina melihat Leon sudah duduk di hadapannya. Sedikit harapan bahwa Leon akan membawakan bunga yang sama seperti dulu, tetapi untuk saat ini semuanya sudah keluar pada jalur takdir.

"Gimana keadaan kam-"

"Langsung ke inti!" Potong Vina dengan cetus.

Leon menarik nafasnya. Ia merasa jika gadis di depannya masih marah kepadanya. Sangat pantas jika ia tidak diterima lagi oleh Vina. Sikap biadabnya melebihi batas. Ia sudah mencintai Vina dengan obsesi. Ia juga sudah memaksa gadis lugu ini menjadi budaknya hanya untuk kepuasan semata, lalu ia meninggalkannya dengan cara menghinanya. Wanita mana yang masih mau menerima pria seperti itu?

Leon sadar akan semua kesalahannya. Balas dendam hanya membuatnya terus menutup mata dan melihat dalam kegelapan. Mungkin jika ia tidak mengikuti apa yang menjadi hasratnya,sekarang ia masih bahagia bersama Vina. Kini, ia kehilangan Vina dan juga Iren.

Perihal Iren? Sebenarnya Leon tak ingin muluk-muluk. Ia tak memikirkan bagaimana kehidupannya sekarang, ia hanya ingin kebahagiaanya, tak ada yang lain daripada itu.

"Vina, tolong jangan terima Gibran. Aku ayah dari anak kita, bukannya Gibran," ujarnya.

Vina menatap tajam pada Leon. "Saat aku minta pertanggung jawaban, kamu dimana?" Tanya Vina.

Leon tahu saat Vina memintanya untuk menjadi ayah dari anak itu dirinya menolak. Keadaannya saat genting. Ia tidak bisa meninggalkan rencananya begitu saja. Sekarang ia sadar jika Vina lebih dari apapun.

"Setelah semua ini, apa jaminannya buat aku kalo kamu gak akan ninggalin aku lagi? Kamu gak akan nyakitin aku lagi.... Apa jaminannya!" Seru Vina.

Leon terdiam.

"Kalo kamu gak bisa bahagiain aku setidaknya jangan sakitin aku. Udah cukup hidup aku berantakan, dan kamu dateng cuma tambah masalah. Cape tahu gak?!"

"Aku minta maaf," ucap Leon.

Vina menggeleng. "Kata maaf gak bisa ngembaliin apa yang hilang. Gak bisa perbaiki apa yang rusak. Dan aku juga minta maaf karena gak bisa maafin kamu," ungkapnya.

"Aku akan datang di pernikahan kamu sebagai calon suami, bukan tamu undangan," putusnya lalu pergi.

Vina terdiam menatap kepergian Leon. Apa yang dimaksud lelaki itu? Vina cemas akan apa yang terjadi nanti. Leon adalah orang yang nekat. Ia tak ingin membuat semua orang malu karena ulahnya.

****
Hari ini cuaca cukup panas. Vina ingin membeli sesuatu di toko buku yang tak jauh dari kafe harmoni. Ia berjalan kaki dari kafe ke toko buku. Leon memberikannya ancaman, dan lelaki itu juga meninggalkannya sendirian di kafe. Sungguh tidak tahu diri sekali manusia yang satu itu.

1 Hati 2 Raga [Selesai]√Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang