Americano & Frappe

1.6K 22 6
                                    


Aku bukanlah pecinta Kopi, meski bisa dibilang hampir setiap hari mengkonsumsi minuman bercaffein yg sangat populer itu.

Bagiku kopi semacam stimulan yg dibutuhkan apabila mengantuk atau sebagai aditiv untuk menemani dikala suntuk seperti saat mengemudi, membaca atau bekerja didepan laptop.

Aku sendiri tak punya kopi favorit, semacam mood yg sering berubah pesanan kopi ku pun tergantung kondisi saat itu sedang ingin menikmati apa, panas dingin, manis pahit, arabika robusta, tapi memang aku lebih sering memesan Caramel Frappe yg dingin dan manis atau terkadang juga Americano tanpa gula yg pahit ketika lidah ini sudah terlalu bosan akan rasa manis.

Bukan sok berfilosofi, tapi entah mengapa kopi itu seperti merepresentasi sebuah kehidupan. Kalian pasti pernah dengar atau merasakan sendiri ketika kehidupan ini berada dititik jenuh padahal telah mendapatkan semua yg diinginkan bahkan yg diimpikan banyak orang seperti pekerjaan yg baik, pasangan yg sempurna, uang yg lebih serta hidup berkecukupan.

Namun terkadang beberapa beranggapan semua itu adalah sebagai zona nyaman, dan ingin bergerak dengan alasan agar menjadi pribadi yg harus berkembang.

Seperti itu lah Americano, meski cita rasanya pahit tetap punya kenikmatan sendiri karena Frappe yg manis terkadang justru hanya membuat tenggorokan ini semakin dahaga.

“Kalo alasan selain Cinta, mungkin karena ego dan gengsi. Ga terima akan kekalahan yg bikin gue ngotot ngerebut Clara lagi dari Adit. Puas aja gitu rasanya menang dari si kampret itu!” jawabku merespon kecurigaan Helen atas upaya ku mengajak balikan Clara yg dianggapnya bukan atas dasar cinta.

“Terus lo sendiri punya pembelaan apa? Ga cerita dari awal kalo Clara saat kejadian dirumah lo itu langsung nyariin dan mau balik lagi ke gue!!” lanjutku protes dengan nada meninggi kepada Helen disampingku yg sedang mengemudi.

“Clara dong yg lebih punya hak untuk ngomong nji bukan gue, kalau misal gue bilang ke lo tapi Clara berubah pikiran gimana?” sahut Helen membela diri.

“Kalo gitu lo ga usah nyalahin gue ketika dalam rentang waktu yg cukup lama itu, Andini sukses masuk mengisi kekosongan gue.” timpalku lagi pada Helen ketus.

“Ya kalo abis balikan ama Clara lo ga sok-sok jadi sahabatan juga belom tentu Andini jatuh cinta ama lo.” balas Helen yg terus menghakimiku.
“Ci please! Semua ini awalnya dari Clara yg sok sandiwara selingkuh.

Kalo aja dia ga kekanakan belaga bikin gue sakit hati dan akhirnya mutusin dia, gue ga bakal deketin Andini!!” sahutku membentak Helen karena tak terima.

“Nji jangan munafik! Putus atau engga lo dengan Clara saat itu, takdir akan tetap mempertemukan lo dengan Andini!! Semua juga tergantung sikap elo!!” timpal Helen lagi yg tak mau kalah argumen denganku.

Tak biasanya langit Jakarta menurunkan hujan ditengah bulan Juli yang panas ini, persis seperti suasana didalam mobil antara aku dan Helen.

Ya malam itu kami malah bertengkar, Helen menamparku ketika aku tak sengaja menyebut nama Andini saat sedang mencumbunya.
Kelakuanku itu sukses membuat kami langsung adu mulut, Helen menuduhku macam-macam tentang hubunganku dengan Andini.

Dalam sekejap ia berbalik menjadi berada dipihak Clara dan menyerang diriku habis-habisan untuk menjelaskan dosa apa saja yg telah kubuat dengan Andini selama jauh dari Clara.
Bahkan baginya, yg sebenarnya berselingkuh dan main hati adalah aku bukan Clara. Aku pun akhirnya mengakui tentang hubungan ku dan Andini yg justru semakin dekat ketika sudah balikan dengan Clara.

Aku menjawab dan mengakui semua pertanyaan yg lebih terlihat sebagai sebuah penghakiman dari Helen. Meski itu semua lebih banyak hanya sebatas ocehan ku asal agar Helen puas dengan tuduhannya padaku karena percuma rasanya menjelaskan sesuatu kepada orang yg sedang curiga secara buta.

"YOUTH"Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang