12

3K 490 112
                                        

Langkah nya di bawa terseok. Nafasnya tersenggal menahan sakit pada luka di wajah dan perut nya. Bukan hanya itu, sedari tadi ponsel nya selalu dia lihat. Berharap setelah melakukan banyak panggilan Chenle mau menelfon balik. Sayang nya tidak. Lelaki manis itu membuat nafas Jisung semakin sesak. Bagaimana jika terjadi sesuatu yang tidak diinginkan? Jisung tidak ingin itu terjadi.

Bahkan tempat biasa yang Chenle datangi tidak kunjung membuahkan hasil. Tidak ada. Chenle masih tidak diketahui keberadaan nya.

Senja sudah menyapa, namun masih saja resah menerpa dada. Jisung wajar datang ke apartemen Renjun dan Jeno. Sebab sebelum pergi, Chenle benar-benar mengatakan bahwa dia akan datang kesana. Dia tidak salah. Hanya saja, lantas kemana Chenle pergi? Sedang lelaki manis itu mungkin sudah lupa beberapa tempat.

Bagaimana jika penyakit Chenle kambuh di jalan? Bagaimana jika tidak ada yang membantu nya? Bagaimana jika Chenle malah menemui orang dan dibawa orang lain? Chenle itu terlampau ramah, dia terkadang mudah percaya pada orang asing, saking baik nya.

"Sial!"

Dia menggeram rendah. Pikiran nya berkecamuk berantakan.

Sedang di tempat lain Renjun sudah menangis dalam dekapan kekasih nya. Jeno memeluk nya dengan penuh pengertian. Dia tau betul apa yang dirasakan kekasihnya. Bukan karna tamparan yang tadi Jisung berikan. Namun tentang Chenle yang tak kunjung memberi nya kabar.

Bagaimana pun juga yang Jisung rasakan jelas sama dengan apa yang mereka rasakan. Mereka takut tentang penyakit Chenle yang mungkin kambuh disaat-saat seperti ini. Apalagi mereka yakin keadaan Chenle jauh terpuruk. Mereka bisa melihat dari wajah Jisung yang penuh penyesalan. Itu pasti menandakan ada yang tidak beres.




.

.




Pada akhirnya Jisung lelah sendiri. Setelah mata yang sembab karna menangis dan jam menunjukkan pukul 10 malam, dia bergegas pulang. Besok dia bisa meminta waktu pada Jaemin dan akan mencari Chenle. Bagaimana pun, dia harus menemukan Chenle sebelum anak manis itu ditemukan oleh Renjun dan Jeno. Jisung tidak mungkin mau jika dia tidak lagi bertemu dengan Chenle nya.

Pintu berderit, dan Jisung ternganga di depan pintu kamar. Dia terkejut saat orang yang dia cari sedang asik berkutat dengan buku harian nya di balkon kamar mereka.

Dengan langkah cepat, Jisung membawa kakinya mendekat. Kemudian mendekap sosok yang begitu dia rindukan, padahal hanya beberapa jam saja mereka tidak bertemu.

Chenle tersentak, tentu saja. Langkah yang Jisung bawa tidak terdengar derap nya.

"Kau kemana saja? Kenapa di apartemen Renjun tidak ada?"

Chenle menutup buku harian nya. Kemudian mendekapnya. Membawa sang buku dalam pelukan nya. Seolah itu adalah hal yang tak ingin ia bagi dengan siapapun.

Tak ada jawaban. Mungkin Chenle masih marah padanya. Beberapa saat mereka seperti itu. Angin membelai wajah mereka. Mengusik anak rambut si manis yang jelas semakin membuat dia manis dengan terpaan sinar rembulan malam itu.

"Rasanya tidak baik melanggar apa yang dikatakan kekasihku, calon suami ku, bukan?".

Jisung tertegun. Jadi dari tadi Chenle memang tidak pergi kemana-mana? Pantas saja dia tak tau, karna dia memang tidak pulang ke apartemen mereka dahulu. Bodohnya.

Namun mendengar apa yang dikatakan anak manis ini kembali mencubit hatinya. Sakit itu kembali menyergapi dada nya. Bahkan Chenle masih ingat dengan janji dia yang memang akan berniat meminangnya.

Satu tetes air mata berubah dengan deraian air mata. Dia kembali menyakiti Chenle nya dengan janji yang tak langsung dia tepati. Kenapa ada manusia sebaik Chenle? Saat padahal dirinya sudah tau, Jisung mengkhianati nya. Bahkan sebelum Jisung menjelaskan semua, Chenle masih mengerti dirinya. Tidak pergi, karna mendengar bentakan nya. Ya Tuhan. Kenapa begitu brengsek nya Jisung masih mengkhianati malaikat kecil nya itu.

"Jangan menangis, seharusnya kau menguatkan aku."

Benar. Memang benar apa yang kekasinya katakan. Seharusnya dia yang lebih kuat disini. Sebab dia sendiri yang membuat drama seperti ini.

"Hiks... Maaf.."

Meskipun nada yang Chenle gunakan sedikit menyindir, tapi tidak dengan jemarinya yang mengusap lembut lengan kekar Jisung. Menghasilkan rasa yang luar biasa menyengat hingga ulu hatinya. Jisung kembali terisak, lebih keras.

Maka dengan lembut Chenle berbalik, memeluk Jisung dengan mengusap punggung yang lebih muda. Mendalami bagaimana rasanya dicintai. Dia sendiri sudah berurai air mata sedari tadi. Namun sekarang tidak bisa ia simpan sendiri. Jisung ada disini dan sekarang dia harus melepaskan semua nya.

"Aku tak apa. Aku Zhong Chenle, orang yang selalu mencintai Park Jisung meskipun lagi dan lagi dia terluka."

Jisung mengeratkan dekapan nya. Berkali-kali dia mengatakan maaf dan kembali dibalas anggukan serta kata 'tak apa'

Ya, Chenle tak apa. Selama Jisung masih merasakan penyesalan.




.

.




Suasana semakin hening saat dua anak adam itu sudah tidak lagi terisak. Angin semakin kencang seiring waktu yang kian menunjukkan malam.

"Aku akan menikahi mu. Tapi maaf, sebelum itu biarkan aku menikah dengan Jaemin."

Yang lebih tua melepaskan pelukan nya. Dia beranjak dengan buku harian yang masih dalam genggaman nya. Dia melewati Jisung yang menatap punggung nya. Kembali masuk pada balutan selimut setelah menyimpan buku harian nya.

Sedangkan Jisung tau betul apa yang kekasihnya rasakan. Biarkan seperti ini. Biarkan dia larut dalam penyesalan nya sendiri.

Kemudian dia beranjak, ikut masuk dalam balutan selimut itu. Memeluk Chenle yang sudah kembali terisak. Hari ini rasanya dari bangun tidur sampai dia ingin kembali tidur pun rasanya selalu sama. Sesak. Kenapa Tuhan begitu suka mempermainkan takdir nya? Kenapa Tuhan suka sekali melihat dia menangis? Demi apapun! Chenle tidak mau menyalahkan Tuhan, tapi kenapa rasanya sesak sekali?

"Le, maafkan aku.."

Chenle tidak pernah menolak Jisung. Tidak pernah. Bukan karna dia terlalu mencintai lelaki itu, tetapi rasanya tidak ada yang harus dia salahkan dari lelaki itu. Dia sadar diri untuk tidak menjadi egois seperti itu.

Chenle membalikkan tubuhnya. Menghapus jejak air mata yang semakin berlomba untuk jatuh. Dia tersenyum. Setulus mungkin. Membawa tangan nya merangkai wajah Jisung yang begitu tampan dan tak pantas untuk nya.

"Tak apa. Memang seharusnya seperti itu."

Namun Jisung menggeleng. Dia tidak suka Chenle berkata demikian. Bagaimanapun dia mencintai Chenle nya.

"Aku mencintai mu, kau harus percaya."

Ya, Chenle percaya. Dia menganggukkan kepala nya kemudian membawa tubuhnya masuk dalam dekapan yang selalu membuat nya nyaman. Pelukan Jisung yang akan selalu membuat dia merasa nyaman dan aman. Biarkan dia melupakan kalimat yang pernah Jisung ucapkan di balkon kamar. Dia hanya ingin percaya, bahwa Jisung benar-benar mencintai nya.




Tbc

Snow December [jichen] ENDTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang