20

5.5K 499 134
                                        

'Tidak selamanya cinta harus memiliki' itu memang benar adanya. Tidak dengan Jaemin yang meminta cinta Jisung, namun ditolak mentah. Bahkan tidak dengan Chenle dan Jisung nya sekalipun. Benar-benar bukan jalan Tuhan. Lalu apa yang harus mereka harapkan dari cinta? Bahkan tidak ada Jisung dan Chenle maupun Jaemin. Semua hancur. Semua tidak lagi sesuai ekspetasi. Jalan Tuhan memang tidak bisa kita ketahui. Lalu kenapa cerita ini harus ada jika mereka tidak bersama? Setidaknya biarkan mereka hidup bahagia! Maafkan jalan cerita, itu memang seharusnya ada.


*
*

Jisung menggeram marah. Dia melempar ponsel sembarangan dan dengan cepat melajukan mobilnya. Seseorang yang menjadi tumpuan kini dalam keadaan bahaya. Amarah menguasainya. Namun dia tidak bisa memungkiri bahwa dia menangis saat ini. Aliran itu tercetak di pipi tirusnya. Berteriak keras pada dunia yang seakan tidak menginginkan dia dan Chenle bahagia. Dia menangis sangat keras.

Kenapa dunia senang mempermainkan nya? Kenapa takdir tidak membawa dia pada kebahagiaan yang sesungguhnya? Kenapa?

Jisung ingin membahagiakan Chenle. Hanya ingin meminang sang kekasih dan berbahagia dengan seseorang yang tak ia sangka akan hadir. Ya, bayi mereka. Nyawa nya sekarang sedang ikut berjuang dalam perjalanan cerita mereka. Bahkan kenapa takdir membawa nyawa tak berdosa untuk ikut merasakan lelah yang teramat tentang hidup, tentang cinta mereka? Kenapa nyawa yang tidak tau apa-apa harus tau bagaimana sakit nya menjadi bagian dari Jisung juga Chenle?

'Dad akan datang. Tolong jaga mom.'

Itu yang Jisung katakan. Seolah berkata pada dunia untuk menyampaikan apa yang ada dalam hatinya pada nyawa yang kini berdiam dalam perut sang kekasih. Pada nyawa yang akan menjadi anak mereka, Jisung berpesan untuk selalu menjaga Chenle. Tentu saja. Jisung menginginkan seorang anak yang akan menjaga mom nya, menjaga Chenle dengan sepenuh hati.

'Dad, cinta kalian. Mohon bertahan untuk kehidupan yang lebih layak dari pada ini. Kehidupan kita yang tak mengenal duka.'

Jisung menangis. Tersedak oleh tangisan nya sendiri. Dan sialnya, air mata yang mengalir membuat pandangan nya buram. Dia kalut, dan matanya berembun. Dia melupakan fakta, bahwa dia tidak bisa melihat jalanan dengan baik. Dia melupakan fakta bahwa didepan sebuah mobil berlawanan datang, menjemput kejadian yang paling ingin mereka hindari. Menjemput sebuah kecelakaan besar.





.
.







Tuan Park kalut saat memanggil ambulance. Dia berteriak marah pada petugas rumah sakit yang berbelit. Hingga pada saat Tuan Park yang terhormat masuk dalam sebuah mobil yang membawa Chenle menuju rumah sakit. Menggenggam tangan yang barusan ia lukai. Menangis saat melihat banyak duka pada tubuh tak bersalah ini.

Kenapa dia tidak berkaca pada pengalaman? Kenapa dia melukai ibu dan ayah dari anak yang ada dalam kandungan Chenle? Pasti rasanya sangat sakit. Dia pernah merasakan menjadi Jisung dulu. Meminta restu yang susah sekali dibeli.

Padahal jelas, tangan mungil Chenle tidak pernah menyakitinya. Tubuh kecil dalam balutan kulit putih itu tidak pernah mencoba untuk membuat dia menjadi manusia jahat. Wajah manis Chenle kini membiru karna tamparan nya. Karna tangan nya yang kasar. Dia meringis, merasakan bagimana menjadi Chenle yang harus terluka saat mengandung cucu nya sendiri.

Ponsel yang ia simpan dalam saku celana bergetar. Menandakan panggilan masuk yang semakin membuat nya takut.

Apa yang harus ia katakan pada Jisung? Apa yang akan anaknya lakukan pada ayah yang tak berguna? Dia semakin meringis, namun tetap mengangkat panggilan itu.

"J-jisung."

Suara lirih nan bersalah itu terdengar. Membuat seseorang disana mengerutkan dahinya.

Snow December [jichen] ENDTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang