Jisung marah pada Chenle yang pergi. Lebih pada dirinya sendiri yang melupakan fakta bahwa Chenle yang memang sedang dalam keadaan sakit. Seharusnya dia diam pagi itu. Atau lebih baiknya, dia membawa sang kekasih ke rumah sakit. Banyaknya, dia menyesal karna nya.
Satu yang ia tuju sekarang, Rumah Sakit.
Langkah yang ia bawa membawa kesan tergesa. Seolah jika dia telat, dia akan kehilangan Chenle nya. Seharusnya dia sadar, sekarang pun Jisung sudah telat. Tidak lagi ada maaf untuknya, seharusnya seperti itu.
Dan ketika tangan nya memutar knop pintu ruangan tempat Chenle dirawat -dia sudah bertanya- dia tercekat. Jeno sudah dihadapan nya, memandang Jisung tajam dan penuh dendam.
Satu pukulan telak mendarat di pipi kanan nya, membuat dia harus tersungkur ke belakang. Chenle yang memang sudah sadar menjerit. Meminta Jeno untuk menghentikan nya. Jeno peduli apa? Dia tidak ingin peduli. Untuk saat ini, saat ini saja biarkan Jeno egois. Melupakan fakta, bahwa Chenle teramat mencintai lelaki brengsek ini.
Jisung terkekeh, perih dan pedih. Namun semua itu tidak berbanding dengan luka yang Chenle rasakan, benar kan? Dia menerima saat kerah nya ditarik dan kembali mendapat pukulan keras dari Jeno yang membabi buta. Tanpa berucap apapun, Jisung tau Jeno menelan semua suaranya untuk mengumpulkan tenaga demi melukai dia lagi.
Bau besi tercium. Jisung berdarah dan Chenle semakin menjerit. Kepala yang sudah berat itu menoleh, menatap dan memaksakan sebuah senyuman pada orang terkasih. Dan Chenle semakin tersedu dalam tangisnya.
"Aku baik-baik saja."
Ucapnya meyakinkan. Meskipun begitu, air bening itu jatuh di sudut mata nya. Ya, Jisung menangis. Menangisi keadaan Chenle yang bahkan penuh dengan air mata. Menangisi isak tangis Chenle yang terdengar amat memilukan. Menangisi bibir candunya yang menjadi pucat. Menangisi pipi tembam nya yang sudah memerah akan tangisan. Menangisi Chenle yang tidak bisa ia jaga dengan baik.
"Kami akan membawa Chenle pergi."
Renjun melepas genggaman tangan nya pada Chenle. Membawa langkah nya mendekat pada Jisung yang sudah menegang. Tangis lelaki itu pecah, jiwa nya sakit, hatinya terluka dan dunia nya runtuh. Tidak ada yang lebih menyedihkan dibandingkan dengan apa yang barusan Renjun katakan.
Pemuda China itu menahan Jeno yang akan kembali memberikan pukulan. Sudah cukup, Renjun mengerti Jeno sangat marah. Namun, Renjun juga tidak tega dengan kondisi Chenle yang meraung itu.
Bahkan Chenle sendiri terkejut dengan ucapan Renjun. Dia semakin mengeraskan isak tangisnya, tidak ingin berpisah dengan Jisung lagi. Tidak! Atau dia akan semakin terpuruk.
Renjun berjongkok, kemudian menjatuhkan tubuhnya di hadapan Jisung yang sudah terbujur kaku. Sujudan yang membuat semua orang terkejut. Renjun merendahkan harga dirinya hanya untuk Jisung yang bahkan pernah menamparnya.
"A-aku mohon hiks.. Biarkan kami pergi. B-biarkan kami membawa Chenle.. Tolong, jangan sakiti Chenle ku lagi hiks.. "
Isak itu memerihkan hati Jisung. Luka yang belum kering itu kembali ditaburi garam, perih sekali. Dan Jisung tercekat. Tidak bisa berkata apa-apa. Dia hanya menelan semua jeritan nya, menyembunyikan sakit yang teramat di hatinya. Dia terkekeh, kemudian terisak oleh isakan yang ia tahan. Dia memandang permohonan maaf pada Renjun. Juga permohonan untuk tidak memisahkan mereka kembali.
Namun lelaki China itu menggeleng. Dia memegang bahu Jisung, mengelus memberi pengertian.
"Tidak. Maafkan kami. Kau menyayangi Chenle, bukan?"
Jisung tak ingin mengangguk karna dia tau akan ada jawaban yang menyesakkan. Tapi jika ia tidak mengangguk, disana Chenle menatap dia penuh harap.
Persetan! Jisung mengangguk. Mencintai Chenle sangat. Dia mencintai Chenle nya.
"Oke. Kau tau apa yang akan aku ucapkan. Tolong, kau ingin Chenle bahagia kan? Tentu saja. Aku Jeno dan kamu ingin Chenle sembuh. Tolong jangan halangi kami."
Jisung tersenyum miris. Dia memandang kosong Chenle yang ada di atas ranjang. Tidak melihat bagaimana lelaki manis itu memberontak, ingin memeluk Jisung. Yang dia lihat hanya kebahagiaan dalam bayangan nya. Saat dia menggandeng Chenle di atas altar. Saat dia menyematkan cincin dan mencium si manis di depan banyak orang. Ya, dia hanya membayangkan kebahagiaan hari pernikahan nya.
Tepukan pada bahu nya membuyarkan lamunan itu. Dia tersentak pada kenyataan yang benar-benar harus ia jalani. Renjun mengangguk, meminta pengertian. Meremas bahu Jisung, seolah tau apa yang dirasakan oleh nya.
Lelaki jangkung itu mendongak. Menatap Jeno yang kini menghela nafas. Dia ikut berjongkok, kemudian menepuk punggung Jisung. Dia kesal, namun dia juga harus mengerti apa yang Jisung lakukan adalah demi membawa setidaknya, sebagian harta orang tuanya, untuk berobat dan menjalani hidup dengan Chenle. Kenapa semua orang tidak mengerti?
"Tolong dengarkan aku. Aku kembali pada Jaemin bukan inginku. Aku harus menuruti semua yang dikatakan orang tuaku untuk mendapatkan warisan. Aku harus punya uang untuk menghidupi dan mengobati Chenle. Aku menaruhkan hatiku yang ikut sakit saat bersama Jaemin. Aku menaruhkan semua waktu ku dengan Chenle hanya untuk memenuhi keinginan kedua orang tuaku. Aku ingin mengobati Chenle, menebus beberapa tahun yang lalu. Aku ingin membuat rumah impian dengan nya. Aku akan membuat taman untuk nya, membuat dapur mewah untuk dia memasak makanan. Aku ingin hiks.. Aku ingin.. Tolong Jen, aku mencintai nya."
.
.
Jisung berjalan lunglai. Hidup nya sudah hancur. Tidak ada lagi yang bisa diharapkan. Mentari nya akan segera pergi. Dia akan menjalani hidup dengan gelap, tidak ada cahaya. Tidak ada kebahagiaan, karna wajah si manis yang sudah tidak akan lagi ia tatap. Dia termenung, ketika membuka pintu apartemen. Rasanya hampa, sepi dan tak bernyawa. Seakan tidak ada kehidupan dibalik pintu yang barusan ia buka.
Tangisnya pecah. Meraung, hingga menghancurkan vas bunga yang sudah dirawat oleh si manis. Tidak ada lagi salju Desember, karna sekarang musim itu telah terlewati. Jisung melangkah setelah membuka sepatu. Membiarkan kaki nya yang tak beralas itu terluka oleh pecahan vas tersebut, kemudian menggulung diri di sofa. Membiarkan darah mengalir dari kakinya. Persetan dengan kehabisan darah! Nyatanya, Chenle yang hilang lebih akan membunuhnya.
Pada akhirnya, dia akan kembali menjadi manusia gila. Menjadi manusia gua. Dia tidak akan kembali lagi pada Jaemin, tidak akan lagi mengikuti apa yang dikatakan orang tuanya.
Seharusnya, dia mencari pekerjaan lebih giat. Seharusnya dia tidak menerima tawaran itu. Dia berjuang dijalan yang salah. Jika dia mau lebih berusaha mengumpulkan uang dengan jerih payah nya, dia tidak akan melukai hatinya dan juga Chenle nya.
Seharusnya dia sadar, bahwa masih ada perusahaan lain yang akan menerima nya, jika dia bekerja keras. Penyesalan memang datang diakhir bukan?
Kembali, penyesalan itu ia rasakan, untuk kedua kalinya. Seharusnya dia berkaca pada masa lalu nya.
Tapi, tolong mengertikan Jisung kali ini. Tolong jangan menyakiti Jisung dengan kata-kata kasar kalian. Jika saja Chenle semakin sembuh, dia akan bisa bekerja di perusahaan lain. Tapi keadaan Chenle yang memburuk semakin mendesak ia untuk menerima tawaran orang tuanya.
Pikiran nya buntu saat itu. Dia tidak bisa berpikir panjang. Yang ia harapkan hanya kesembuhan total dari kekasihnya.
Tapi tak apa. Maki Jisung sepuas kalian. Karna pada kenyataan sekarang pun, Jisung mengutuk dirinya. Memaki dirinya. Dia menangis dalam remang nya ruangan apartemen nya. Dia terisak, pada malam awal februari ini, dia mengerti. Bahwa cinta yang ia perjuangkan adalah kesalahan nya sendiri. Dia yang berulah seperti ini. Dia yang membuat Chenle kembali meninggalkan nya. Semua salah nya. Namun, pantas kah ia berharap pada Tuhan yang maha Pengasih?
Tbc

KAMU SEDANG MEMBACA
Snow December [jichen] END
Fanfic[ORIGINAL STORY BY : @hyuckers] Akhir dari segala cerita Desember.. Jisung pergi, tanpa bantahan dari kekasihnya. Namun siapa sangka, justru sang kekasih yang lebih dulu pergi? BxB!