Bagi Selena Magdalena, kepergian Lydia Ibunya adalah kebahagiaan yang hakiki. Ketika bersama Lydia, ia tidak pernah merasa menjadi dirinya sendiri.
Saat ini ia sedang berada di rumah Nishad, sang Ayah untuk melepas rindu dengannya. Jika Lydia ada, dia tidak pernah mengizinkannya main ke tempat Ayahnya sendiri.
"Jadi kamu bisa jawab semua pertanyaan pas tes lisan?" tanya Nishad yang baru saja datang dengan dua gelas kopi.
Ia duduk di dekat Selena yang tengah memasukan kedua kakinya ke kolam renang. Bermain air di sana.
Selena hanya mengangguk antusias. "Iya. Tapi sayang aku ikutnya tes susulan soalnya jidatku kebentur tembok, jadi terpaksa harus diem di UKS," ucapnya dengan mengerucutkan bibirnya.
Nishad yang mendengarnya langsung menoleh lantas meraih dagu Selena untuk melihat dahinya. Benar saja, ada memar di sana. "Kamu luka, Nak? Ini sakit banget, ya? Padahal kalau sakit begini harusnya kamu pulang dari sekolah."
Selena tersenyum lantas memegang tangan sang Ayah yang berada di dahinya. "Aku gak pa-pa. Justru kalau pulang, aku malah bakal kenapa-napa beneran."
Seketika iris kelabu milik Nishad bergulir menatap sang anak dengan miris. "Momy kamu masih gak berubah, ya?"
Cewek dengan celana hot pan serta jaket yang kebesaran itu hanya menunduk. Menatap kedua kakinya yang bermain dalam air di bawahnya.
Diamnya Selena menjelaskan semuanya. "Kamu tau, honey. Daddy selalu bangga sama semua pencapaian yang sudah kamu dapatkan. Dapat nilai sempurna itu gak mudah. Apalagi saat keadaan kamu terbentur. Tapi karena kamu anak yang hebat, kamu bisa melalui semuanya."
Kali ini Selena mendongak, menemukan sebuah senyuman yang selalu berhasil menyejukkan hatinya. Inilah perbedaan keduanya. Nishad tidak pernah menuntut apa pun dari Selena. Ia selalu bangga akan Putrinya.
Karena baginya, kebahagiaan terbesarnya bukan karena seberapa besar prestasi yang ia raih. Tapi dengan melihat Selena bahagia dengan pilihannya, itu sudah cukup.
"Kalau aja Momy yang bilang gitu. Mungkin aku akan jadi anak paling beruntung di dunia," aku Selena.
Ya, semua itu hanya angan. Pemikiran Lydia sampai kapanpun tidak akan pernah bisa berubah. Kalau ia saja bisa bercerai dengan alasan Nishad tidak mendidik Selena dengan sempurna, maka Selena pun bukan alasan yang kuat untuk Lydia berubah.
"Tanpa kamu merubah Lydia, kamu masih bisa memiliki Ibu seperti yang kamu mau," seorang wanita muda nan elegan menyimpan nampan di dekat Selena lantas mengusap wajahnya lembut. "Mami ini kan Ibu kamu juga. Dan Mami akan selalu mendukung apapun yang kamu lakukan."
Dia adalah Valerie. Wanita yang dinikahi Nishad setahun yang lalu yang untungnya sangat menyayangi Selena. Bahkan lebih menyayangi Selena dibanding Sean, anaknya sendiri.
Tatapan Valerie kemudian mengarah pada cupcake yang barusan ia bawa. "Ya udah mending sekarang kamu cobain cupcake buatan Mami. Ini Mami buat khusus untuk kamu."
"Suapin," Selena merengek sembari mengeluarkan puppy eyes miliknya.
Nishad dan Valerie hanya terkekeh. Dan detik berikutnya, ia mendapat suapan cupcake dari tangan seseorang yang membuatnya merasa memiliki seorang Ibu.
Bersama Lydia ia tidak mungkin bisa bermanja-manja seperti sekarang. Atau ia akan memarahinya persis seperti Leo malam itu.
Bicara soal Leo, ia jadi ingat malam nanti akan pergi dengan Edgar. Ia pun buru-buru menelan cupcake yang ada di mulutnya. "Dad, Mi, malam ini aku ada janji mau pergi, boleh gak?"
KAMU SEDANG MEMBACA
Perfect [SELESAI]
Teen FictionCERITA MASIH LENGKAP SAMPAI ENDING Dia Edgar. Ketua ekskul PMR yang nolak jadi most wanted. Gak banyak orang yang kenal sama dia. Bahkan kalau dia gak dateng dan ngancem-ngancem, gue gak mungkin kenal sama dia. Dia Leo. Kakak kelas sekaligus kapten...