Perfect- 11

969 71 1
                                    

Pagi ini kelas XI Bahasa 1 dan juga kelas XI MIPA 1 sedang mengadakan olahraga bersama. Ya, katanya guru olahraga di kelas MIPA nggak hadir. Jadilah mereka di gabung.

Mereka masih bermain-main selagi Pak Herdi, selaku guru olahraga belum datang.

"Eh, Len, lo lagi ada masalah sama kak Leo?" tanya Mona ketika Selena sedang melakukan peregangan.

"Ya, biasalah. Emang lo tau darimana? Kan gue gak pernah kasih tau lo."

"Ini, nih. Kenapa lo gak ada kasih tau gue ataupun yang lain, sih? Lo mulai gak mau jujur sama kita?"

Selena menghentikan aktifitasnya. Ia menaikan sebelah alisnya. "Lo kenapa, sih, Mon? Iya gue gak cerita karena menurut gue ini gak perlu diceritain. Dan kalian gak perlu tau."

Namun lawan bicaranya malah tersenyum kecut lantas memalingkan wajah. Satu detik kemudian ia kembali menatap Selena. "Intinya lo sama sekali gak menganggap keberadaan gue dan yang lain. Lo bersikap seolah lo gak butuh kita. Terus apa gunanya kita jadi temen?"

Iris biru tua milik Selena menatap dalam pada Mona. Ia menggeleng. "Gak gitu, Mon. Tapi lo tau, kan gue itu bisa mendapatkan apapun yang gue mau. Kalau gue gak cerita, artinya emang hal ini gak penting buat lo tau."

"Tapi gue, Bianca dan Kimberly itu sahabat lo. Lo gak bisa terus bersikap seenaknya. Tapi kalau emang itu yang lo mau. Oke," ia berbalik dan meninggalkan Selena. Meninggalkan semua orang yang ada di lapangan.

Bahkan saat ia berpapasan dengan Pak Herdi yang baru datang pun, ia tetap tidak kembali.

Selena mematung di tempatnya. Kenapa Mona bersikap begitu hanya karena ia tidak cerita?

"Len, itu Mona kenapa?" tanya Bianca yang baru selesai ganti baju dengan Kimberly.

Namun Selena malah menggeleng. Sampai kemudian Pak Herdi yang mengambil alih.

"Baik, anak-anak. Kali ini kita akan praktek bola voli. Tapi sebelum itu, kita akan melakukan pemanasan dahulu," ia menjeda lantas menatap Selena. "Selena, kamu pimpin pemanasan putri. Dan yang putra dipimpin oleh Bara dari kelas MIPA satu," ucapnya.

Semu murid bertepuk tangan dan ada juga yang bersiul lantaran idola mereka, Selena Magdalena maju ke depan. Cewek itu berjalan dan tersenyum angkuh.

Pemanasan dimulai. Tapi mata Edgar masih terkunci pada sosok cewek yang akhir-akhir ini tanpa sengaja selalu bertemu dengannya. Melihat itu, Maureen yang berdiri di sebelahnya berniat menggoda.

"Biasa aja kali liatnya. Awas keluar tuh mata," goda Maureen.

Mendengar itu Edgar berusaha memfokuskan diri meski sesekali masih menatap Selena. Ya, kalau dilihat-lihat, cewek itu memang sempurna.

Edgar tersenyum. Tubuh yang proporsional, hidung mancung, mata besar, kulit putih, dan bibir yang-- ah sial. Kenapa Edgar jadi tidak fokus begini?

Ia segera menggeleng tapi Selena malah menatapnya dengan tersenyum bangga.

Lagi-lagi Maureen menggoda Edgar. "Lo senyum segimanapun juga Selena gak akan lihat. Kan dia lagi fokus di depan."

"Apaan, sih, Mau? Dia kan posisinya di depan. Jadi pasti keliatan lah," Edgar mengelak. Mana mungkin ia mengaku di depan Maureen kalau ia memang menatap Selena?

Maureen mengangguk-angguk. "Tapi kan yang posisinya tepat di depan lo itu Bara, bukan Selena."

Skakmat! Cowok berambut rapi itu tida bisa lagi menjawab.

"Selena baik, ya. Kemarin aja dia bawain belanjaan lo ke gue," Maureen memancing.

Tanpa sadar Edgar tersenyum mengingat kejadian kemarin. "Iya. Dia emang baik. Lagian dibalik sifat angkuhnya itu, ternyata dia anaknya manja banget."

Perfect [SELESAI]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang