Perfect- 23

831 69 6
                                    

Baru saja Selena memakai krim malamnya, pintu kamarnya diketuk.

"Sel, ada Momy kamu di bawah. Kamu turun, ya," ucap suara lembut Valerie dibalik pintu.

Selena menghentikan aktifitasnya, jauh di dalam lubuk hatinya, ia merindukan ibunya. Meski Lydia sering menuntutnya untuk menjadi apa yang dia mau, tapi Lydia tetap ibunya.

Sembilan tahun ia dirawat dan disayangi oleh Lydia seorang. Ada perasaan rindu dihatinya begitu mendengar kalau ibunya ada di sini.

Karena sebesar apapun Selena mencoba membenci ibunya, pada akhirnya ia tetap kalah. Ia kalah oleh rasa rindu dan juga sayangnya.

Ia menghela napas sebelum kakinya melangkah ke pintu kamar. Dari sana terlihat Lydia yang sedang menunduk menunggu sendirian.

"Mom," Selena menyapa begitu sampai di depan Lydia.

Wajah itu mendongak, mendapati putri semata wayangnya yang begitu ia rindukan. Ia merentangkan tangan dan merengkuh tubuh Selena ke dalam pelukannya. "Selena, Momy kangen sekali sama kamu, Nak. Rasanya udah lama kita gak bertemu."

Selena tersenyum mendapat pelukan ini lagi. Biasanya setiap pagi ia akan mendapatkannya, tapi beberapa hari ini tidak. "Aku juga kangen sama Momy."

Nishad dan Valerie tersenyum haru dari atas sana.

Perlahan Lydia melepas pelukannya. "Kamu marah, ya sama Momy makanya gak mau pulang? Pulang ya, Nak. Momy kangen sekali sama kamu. Suasana rumah sangat berbeda begitu kamu pergi. Momy-- kesepian."

Selena bisa melihat ketulusan di mata Lydia ketika mengatakan hal itu. Selena tahu, ibunya orang yang baik. Dan hanya karena satu tamparan saja Selena sampai meninggalkannya.

Bukankah dia itu sangat egois?

"Maafin aku, Mom. Aku udah pergi dari rumah dan ninggalin Momy. Saat itu aku sedih dan aku-- kecewa," cicitnya. "Aku kecewa Momy berkata seperti itu. Padahal selama ini aku berusaha menuruti semua keinginan Momy."

Kedua tangan Lydia menangkup wajah Selena dan mengecup keningnya. "Iya, Sayang. Momy tau Momy salah karena udah nampar kamu. Momy menyesal, Darling. Saat itu juga Momy ingin menyusul kamu, tapi Momy tau kamu butuh waktu sendiri. Maafin Momy, ya, Nak."

Selena mengangguk melihat Lydia yang menitikan air matanya. Padahal sejauh yang ia ingat, Lydia bahkan tidak menangis saat perpisahannya dengan Nishad.

Selena merasa jadi anak yang buruk. Seorang anak yang sudah membuat ibunya menangis.

Perlahan jemari Lydia menghapus air mata ibunya. "Selena durhaka, ya, Mom udah bikin Momy nangis?"

Lydia menangkap tangan itu dan menciumnya. "Enggak, Sayang. Kamu selalu membuat Momy bangga, kamu bukan anak durhaka. Kamu anak yang penurut."

Keduanya kembali berpelukan. Sampai kemudian seseorang muncul di pintu dengan membawa dua buket bunga. "Permisi."

Lydia dan Selena melepas pelukan dan sama-sama menoleh ke arah pintu begitu mendengar suara itu. Selena menghapus ujung matanya yang berair, begitupun Lydia.

Sedangkan sosok yang ada di pintu masih berdiri menyaksikan adegan yang baru saja ia lihat. Dan dengan ragu melangkah masuk begitu melihat Nishad dan Valerie yang menuruni tangga.

Edgar menyalami Lydia, lalu Nishad dan Valerie.

"Nak Edgar, tumben malam-malam ke sini?" Valerie menyapa.

Sedangkan Selena masih sibuk mengatur emosinya yang begitu mellow.

"Iya, Tante. Saya mau bicara sama Selena. Boleh Saya pinjam Selena sebentar?" pinta Edgar.

Perfect [SELESAI]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang