BAB 5

40.6K 1.7K 4
                                        

Mentari pagi mulai memantul di atas laut biru kehijauan, menyinari permukaan air yang tenang dengan kilau keemasan. Kapal cepat milik resort perlahan melaju meninggalkan dermaga kayu, membelah perairan Raja Ampat yang bening seperti kaca. Deru mesin kapal bersatu dengan desir angin laut yang menyapu lembut wajah mereka, membawa aroma asin laut dan suara alam yang tenang namun memikat.

Kayla dan David duduk di haluan kapal, kaki mereka menggantung bebas di sisi, tertawa lepas sambil memotret horizon dengan kamera dan ponsel mereka. Terkadang Kayla menjerit kecil saat ombak membuat kapal berguncang ringan, namun tawa David yang keras selalu mengiringinya, membuat suasana jadi penuh semangat.

Di sisi lain, Riko sibuk mengutak-atik speaker portabel yang mereka bawa dari resort. Lagu bertema tropis mulai mengalun pelan, menyatu dengan suasana laut dan semilir angin yang menerpa wajah mereka.

Di bagian belakang kapal, Leon dan Alana duduk berdampingan di bangku kayu, berbalut handuk tipis yang dibentangkan sebagai alas duduk. Alana mengenakan kain tipis dengan motif tropis, topi rotan melekat di kepalanya, dan kacamata hitam menutupi matanya yang tengah terpejam menikmati belaian angin. Tangan kirinya menggenggam tangan Leon yang besar dan kokoh, jari-jari mereka saling bertaut erat seperti tak ingin terpisah.

"Terlalu indah, ya?" bisik Alana, suaranya nyaris tenggelam oleh suara ombak dan angin. Ia membuka sedikit kacamatanya, menatap gugusan pulau karst di kejauhan yang mulai tampak di balik kabut pagi.

Leon melirik ke arah lautan, lalu ke wajah Alana. Bibirnya terangkat membentuk senyum kecil, hangat dan tulus.

"Lebih indah dari yang aku bayangkan," jawabnya pelan. "Tapi tetap nggak ngalahin kamu."

Alana tertawa kecil, malu-malu. Pipinya memerah di balik lensa hitam yang menutupi matanya, dan ia menggigit bibir bawahnya, tak percaya bisa merasa sebahagia ini.

Setelah hampir dua jam perjalanan, kapal mulai memasuki wilayah Wayag. Air lautnya tampak semakin jernih, menyatu dengan langit di kejauhan. Di bawah kapal, bayangan mereka tampak jelas seolah mereka sedang melayang di atas cermin raksasa.

Gugusan pulau karst yang menjulang tinggi, ditutupi pepohonan hijau yang rapat, berdiri gagah bagaikan benteng alami di tengah lautan. Pemandangannya begitu epik, begitu murni, membuat semua terdiam beberapa saat.

"WOY, INI PARAH SIH!!" teriak Riko dari haluan kapal, berdiri sambil menunjuk-nunjuk ke arah pulau yang mereka tuju. "GUE NGERASA KAYAK DALAM FILM! SERIUS!"

"INI BENERAN INDONESIA?" David menambahkan dengan nada takjub, berdiri dengan kedua tangan terangkat ke udara. "Kenapa nggak dari dulu kita ke sini?!"

Kayla hanya bisa terkekeh sambil merekam momen itu dengan ponselnya, sesekali mengarahkan kamera ke wajahnya sendiri yang berseri-seri.

Setelah kapal bersandar di sebuah dermaga kayu kecil di salah satu pulau, mereka pun turun dan bersiap untuk hiking menuju puncak bukit Wayag, spot terkenal dengan pemandangan panorama yang melegenda.

Langkah mereka pelan dan berhati-hati. Jalur setapak menuju atas cukup curam dan menantang, melewati batu karst tajam dan akar-akar pohon yang mencuat. Meski napas mulai tersengal, canda dan tawa tetap terdengar. Leon tak pernah melepaskan Alana dari sisinya, memastikan gadis itu tetap aman menapaki jalur licin.

"Gue rasa lutut gue udah protes dari tadi," keluh David setengah bercanda sambil menepuk-nepuk pahanya.

"Tunggu aja. Semua lelah lo bakal terbayar lunas." sahut Leon dari depan, tetap tenang sambil menggandeng Alana.

Dan benar saja. Sesampainya mereka di puncak bukit Wayag, napas mereka memang masih terengah, tapi semua keluhan seketika hilang.

Di hadapan mereka, gugusan pulau karst tampak menyebar bak permata di atas beludru biru laut. Warna air bergradasi dari hijau muda, biru laut, hingga toska lembut, menciptakan panorama yang seolah mustahil nyata. Langit membentang luas, cerah dan bersih, membuat seluruh dunia terasa terbuka.

love, Alana (COMPLETED)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang