Part 12

31 2 0
                                    

****

Gue Alvano Noel Dimitri anak dari Papa Alex Thanos Dimitri dan Mama Rene Alysia Djanurja. Gue merupakan anak kedua dari dua bersaudara. Sering dibilang anak bontot.

Sebutan orang yang menyatakan gue selalu hidup bergelimang harta. Dan gue ngga menolak statement itu. Itu benar adanya.

Tapi gue merasa hal itu bukan alasan bagi gue untuk sombong. Sedikit akan gue ceritakan kisah gue.

Vano story

Seperti yang terlihat, gue merupakan murid pindahan. Gue memilih meninggalkan sekolah gue dulu adalah sekolah elit milik Papa gue. Cukup bertanya kenapa gue memilih pindah sekolah disaat gue sudah sekolah disekolah elit?

Alasannya adalah Reyna.

Seorang gadis yang menolong gue setahun yang lalu. Disaat semua orang berhenti hanya rasa penasaran namun dia dengan berani menolong gue.
Wajah lelah, cuek dan paniknya itu, gue bahkan masih mengingat dengan jelas ekspresi yang muncul dari wajah cantiknya itu.

Suara Misi-misinya itu hanya untuk kepo dengan siapa yang tergeletak dengan kondisi setengah sadar.

"Misi misi" ucapnya membuat gue memaksa untuk melihat meksi kepala gue dalam keadaan sakit banget.

" Mas kok malah di lihatin sih? Udah tau ada orang yang lagi sekarat" marahnya pada orang yang berkumpul disekitar gue.

"Mas, masih sada kan?" ucapnya pada gue sambil menepuk nepuk pipi gue. Matanya meneliti badan gue layaknya Mama gue yang selalu khawatir jika gue terluka.

Darah di kepala gue mengalir mengenai lengangnya yang lagi menahan kepala gue.

"Aduh aduh Mas telpon ambulance napa elah,, lama banget sih. Udah sekarat ini "gertaknya pada semua orang yang hanya terdiam tanpa melakukan apapun.

Andai gue dalam keadaan sehat mungkin gue bakal marah saat dia manggil gue dengan sebutan "Mas".

Gue merasa ingin muntah saat intensitas sakit di kepala gue semakin meningkat. Gue meringis berbarengan dengan sakit kepala gue yang semakin sakit. Gue gelisah dan bergerak tidak teratur.

Gue merasa tenaga gue sudah mulai habis. Reaksi tubuh gue sudah mulai berkurang, karena gue merasakan rasa sakit kepala gue berkurang tapi diikuti dengan tatapan gue yang mulai berkunang-kunang.

Sadar akan hal itu, gadis itu mengajak gue bicara. Masih aja ngajak gue ngomong meski dalam keadaan panik. Dia membantu gue untuk tidak kehilangan kesadaran.

"Mas yang sabar ya, ambulancenya udah mau nyampe kok"

Cicitan pelan itu hampir saja tidak bisa gue dengar. Mana bibir tipis itu sangat jauh dari pendengar gue.

"Mas dengar saya kan?" Ucapnya meyakinkan gue karena tidak mendengar respon gue.

"Aduh mas matanya jalan ditutup, jangan mati dulu Mas" katanya dengan nada suara yang sudah berubah menjadi cemas.

Ditengah ambang kematian, gue mendengar lirihan yang aneh tapi gue menyukainya.

"Dosa apa gue ya, ikut serta dalam kematian orang."

Disaat mendengarkan itu gue berharap dia tidak trauma karena kejadian ini.

Tak lama setelahnya ambulance yang ditunggu pun sudah datang. Tim penyelamat bekerja dengan baik dalam menolong gue yang sudah dalam keadaan pucat. Hingga detik itu juga gue pingsan dan tak mengingat apapun lagi setelahnya. Namun gue sempat mendengar satu kata yang terucap dari bibir indah itu.

Let's you love me, Twin crazyTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang