***
Gue termenung di depan rumah, memandang Rayne dan Rafael yang sedang berpelukan. Gue tahu, ini adalah momen perpisahan yang berat bagi mereka berdua. Rafael, pacar Rayne, adalah sosok yang selalu gue kagumi karena keseriusannya. Gue sempat membantu mereka menyatukan hati, dan melihat mereka bersama kini memberikan rasa puas tersendiri.
"Udah elah, acara peluk-peluknya. Kasihan gue yang jomblo," ucap gue, mencoba mencairkan suasana dengan sedikit sindiran.
Rayne menatap gue sambil menghapus air matanya, "Sirik aja lo."
Gue hanya bisa tersenyum tipis, melihat mereka dengan perasaan campur aduk. Gue tahu Rafael bukan sekadar cowok biasa; dia anak sultan yang bisa datang ke Bandung kapan saja. Tapi, tetap saja, perpisahan ini terasa berat. Gue sendiri merasa berat meninggalkan rumah yang telah gue tinggali sejak kecil.
Setelah semua perpisahan dan tangisan selesai, gue, Rayne, dan Mama masuk ke mobil. Kami akan pindah ke Bandung karena Papa dipindah tugaskan secara mendadak. Gue tak tahu alasan pasti kenapa Papa harus pindah, tapi jabatan barunya cukup tinggi.
"Selamat tinggal rumah masa kecil, selamat bertemu kembali" bisik gue pelan sebelum mobil berlalu menembus sunyi malam menuju Bandung.
🍒🍒🍒🍒
Lima tahun berlalu sejak perpisahan, banyak hal telah berubah dalam hidup gue. Kini, gue berusia 22 tahun dan bekerja di sebuah perusahaan milik Rafael. Gue bersyukur bisa membantu Papa dan Mama dengan penghasilan yang gue dapatkan. Papa sudah tidak bekerja lagi setelah kebenaran tentang mutasi tugasnya terkuak. Ternyata, semua ini adalah ulah dari Sandra, mantan tunangan Rafael. Dia menggunakan pengaruh keluarganya untuk memindahkan Papa demi dendamnya.
"Selamat pagi every body'' gue menyapa dengan senyum terbaik.
Pemandangan ini sudah menjadi kebiasaan bagi gue selama lima tahun terakhir. Kita berkumpul bersama dibalik kesibukan masing-masing. Meski tidak bisa setiap hari, at least terjadi beberapa kali seminggu itu pasti.
''Hari ini mau kemana?''
Mama gue bertanya untuk kesibukan gue hari ini karena hari ini adalah hari libur. Namun seperti biasa, gue ngga ada kesibukan apa-apa. Hanya pergi menikmati kopi di sore hari dan akan tidur sepanjang siang.
''Cari pacar kali kak, masa sendiri mulu perasaan Mama perhatiin''
''Gak dulu deh mah''
Hari-hari gue ditanyain tentang pasangan sama Mama kapan mempunyai pacar. Dan jawabannya tetap sama, karena perasaan yang gue miliki masih menjadi milik orang lama. Gue tidak akan mau menyakiti orang baru untuk menghilangkan perasaan lama.
Kehidupan gue di Bandung berjalan cukup baik, meski ada ancaman dari Sandra yang terus menghantui. Gue masih teringat bingkisan teror yang gue temukan di depan rumah kami. Bingkisan itu harus dibuang takut orang lain melihatnya. Jujur, rasa trauma akan darah masih ada tapi gue harus melindungi keluarga gue.
Rayne kini sibuk menyusun skripsi untuk wisudanya, dan Rafael semakin sering datang ke rumah. Hubungan mereka semakin serius, dan kedua orang tua mereka sudah saling merestui. Gue ikut bahagia melihat mereka, tapi di sisi lain, gue masih sendiri. Hati gue masih dikuasai oleh sosok masa lalu yang tak bisa gue lupakan, Alvano.
Laki laki yang masih menguasai semua hati gue. Bagaimana beritanya gue tidak tau. Selama lima tahun ini, gue tutup kuping akan berita tentang laki laki itu. Tak banyak pria yang mengajak gue untuk kenalan maupun berpacaran tapi gue tolak. Hati gue gak bisa memaksa. Dengan Mereka yang sudah bahagia ini, gue rasa gue tak butuh kebahagiaan bentuk apa lagi.
***
Pagi sekali sudah sibuk dengan pekerjaan sehari-hari gue, Banyak pesan singkat yang meminta agar pekerjaan cepat di selesaikan. Meski gue calon kakak ipar pemilik perusahaan, tetap saja gue harus bersikap profesional.
Ruangan Rafael ada dilantai 25 yang menjadi ruangan khusus untuk bos pemilik perusahaan, Saat sudah memastikan bahwa dokumen yang akan bawa sudah lengkap dan benar gue beranjak dan berjalan menuju ruangan Rafael. Ingin gue langsung masuk ke ruangan, namun harus terhenti saat melihat tamu yang duduk bersama Rafael. Sekilas gue merasa familiar dengan tapi cepat-cepat gue sangkal karena itu pasti hanya perasaan gue saja.
Gelang
Gue cukup mengenali gelang itu, mengapa gelang tersebut bisa ada disini. Apakah dia ada disini, bagaimana bisa. Tapi itu mungkin karena Rafael dan Alvano ada sepupuan. Setelah menyerahkan berkas, gue buru-buru keluar dari ruangan. Pikiran gue kacau, memikirkan kemungkinan yang seharusnya gak mungkin. Gue bergegas ke rumah sakit untuk menjenguk orang tua Daniel, rekan kerja gue yang sakit tifus.
''Thank boss sudah meluangkan waktu buat jenguk Mama saya'' Ujar Daniel setibanya disana.
''Meluangkan? Bahasa lo kayak gue boss yang jahat sama anak-anaknya aja''
''Tapi kan bener, ibu boss bakalan menolak setiap acara. Jadi saya ngga kepikiran boss mau datang kesini.''
''Sudah, mending lo diam jagain orang tua lo supaya lo cepat balik kantor. Kerjaan lo tuh menumpuk banget''
''Siap bu boss''
Sepulang dari rumah sakit, pikiran gue terus tertuju pada tamu Rafael tadi. Apakah mungkin dia adalah dia. Gue harus apa jika kita bertemu. Gue belum bisa, karena sudah lima tahun berlalu, apakah dia sudah menikah dengan Angel, sudah menikah dan bahagia. Gue berdoa semoga dia bahagia.
***
Gue berhenti di terminal bus yang menjadi rute perjalanan setiap harinya untuk bekerja. Dan berjalan kaki adalah pilihan yang baik untuk menghilangkan beban pikiran gue setelah lelah bekerja di kantor dan itu sangat membantu untuk meringankan beban gue. Sepanjang perjalanan, gue merasa ada yang mengikuti dari belakang, apakah ini hanya perasaan gue saja.
Terhitung berapa kali gue memutuskan untuk melirik ke belakang untuk memastikan apakah memang ada orang atau bukan. Sampai di depan gerbang rumah, gue langsung cepat-cepat meraih kunci dari dalam tas dan membuka pintu tanpa melihat kanan kiri lagi.
Badan gue menegang karena merasakan tiba-tiba ada seseorang yang memeluk dari belakang. Hampir saja gue berteriak keras meminta pertolongan jika saja orang yang di belakang gue tidak bersuara.
''I miss you''
Gue terdiam menebak siapa dibalik suara itu sehingga tidak butuh waktu lama, gue langsung mengenali suara itu. Suara itu milik Alvano. Akhirnya, waktu kita berputar disini setelah lima tahun lamanya kita berpisah dengan kesibukan masing-masing.
''Lepas''
Gue berujar datar untuk menghilangkan rasa gugup yang ada dalam diri. Gue memutar tubuh untuk dapat melihat Alvano secara jelas. Tidak sengaja melirik gelang yang menjadi alasan mengapa gue memilih untuk berjalan kaki. Ternyata benar, dia adalah Alvano.
''Please, give me one more second to hug you again''
Sangkin lamanya tidak bertemu , bahkan cara Alvano berbicara pun sudah cukup berbeda. Terakhir kali, accent inggrisnya tidak sebagus ini, namun sekarang dia bahkan cukup mahir sekali.
"Kenapa gue harus ketemu Lo lagi?"
Gue tahu, pertemuan ini akan membawa perubahan besar dalam hidup gue. Entah siap atau tidak, gue harus menerima kenyataan yang akan datang.
***
Salam manis :-)
KAMU SEDANG MEMBACA
Let's you love me, Twin crazy
Rastgele^^SELAMAT MEMBACA ^^ Kisah saudara kembar yang kadang sama sama sableng,gila dan kadang melankolis. Mencintai laki laki yang sama. Namun bernasib berbeda. #let's you love me , twin crazy