8. Bagian Delapan

115 52 0
                                    

Kanaya berlari dari kamarnya hingga ke ujung tangga. Kemudian ia mengangkat rok abu-abu diatas lututnya, bersiap meluncur dari tangga atas hingga bawah.

Baru saja satu kakinya hendak menyentuh pegangan tangga tiba-tiba sebuah suara menginterupsinya.

"KANAYA MAU NGAPAIN KAMU?!"

Kanaya nyengir saat melihat mamanya yang berada diujung tangga bawah dengan menggunakan daster kebesarannya.

Ditangannya ada spatula yang ia angkat tinggi-tinggi dan diacungkan ke arah Kanaya. "TURUN KAMU!" Katanya setengah berteriak.

Kanaya menggaruk tengkuknya yang tidak gatal. "Hehe iya ma, iyaa" katanya kemudian.

Laura mendengus, tak habis pikir dengan tingkah anak sulungnya itu.
Menurun dari siapa tingkah tengilnya itu.

Padahal seingatnya, dulu semasa SMA ia dan sang suami tidak pernah setengil itu. Kelakuan paling parahnya semasa SMA hanyalah manjat pagar sekolah untuk membolos pelajaran yang membosankan. Sudah itu saja, tidak lebih. Tidak sampai membuat orangtuanya pusing tujuh keliling seperti ini.

Melihat putri sulungnya yang tidak kunjung turun. Laura lantas memukul lantai dengan spatulanya "Cepet turun!" Bentaknya kesal.

"Ee..eh iya ma, ini turun ma piss ma jangan dipukulllll" ucap Kanaya seraya berlari kearah meja makan.

Laura menghela napas, mencoba memperpanjang kesabarannya untuk menghadapi anak sulungnya itu.

Wijaya yang baru saja turun dari kamarnya menatap Laura dengan aneh. "Kamu ngapain ma berdiri disitu pake bawa-bawa spatula lagi?"

"Biasa, Pa. Anak kamu tuh mau coba-coba main perosotan di tangga lagi. Dikira ini rumah taman kanak-kanak apa ya perabotan dipake main-main terus"

Seperti biasa setelah menghadapi Kanaya, Laura akan selalu mengomel pada suaminya.

Apa ya? Ini seperti bentuk protes terhadap sang suami karena tidak pernah memarahi Kanaya jika anak itu berbuat ulah. Biasanya Wijaya hanya akan berkata "Namanya juga anak-anak, Ma"

Kadang Laura sampai heran sendiri, dari segi apa Kanaya bisa dikatakan sebagai anak-anak? Kanaya itu sekarang sudah berusia 16 tahun! Sudah kelas dua SMA.

Badannya juga tidak bisa dibilang kecil apalagi mungil. Tingginya itu 163 cm, bayangkan betapa bongsornya Kanaya dan Wijaya masih mengatakan jika Kanaya itu anak-anak?

Tidak bisa dipercaya.

"Namanya juga anak-anak, Ma" Tuh kan tuh kan apa Laura bilang.

"Belain aja terus!" sungut Laura. Ia kemudian berlalu meninggalkan sang suami yang sekarang tengah tersenyum tipis memandang kepergiannya.

Ia sebenarnya tidak berniat untuk membela Kanaya. Ia hanya ingin menggoda istrinya saja.

Sebenarnya tanpa sepengetahuan Laura, Wijaya sering memanggil Kanaya ke ruang kerjanya untuk dinasehati. Ia bahkan tak jarang menjewer atau memukul bokong anak sulungnya itu jika sudah keterlaluan.

Wijaya menatap malas kearah Kanaya yang sedang menyantap sarapannya dengan tenang. Kakinya dinaikkan satu ke atas kursi persis seperti gadis urakan yang tidak tahu aturan.

"Kaki" ucap Wijaya seraya menendang kaki Kanaya hingga turun ke bawah.

Kanaya mengaduh saat kakinya yang ditendang sang papa membentur meja makan. "Sakit, Pa" katanya memelas.

Namun, bukannya kasihan Wijaya justru tersenyum puas melihat Kanaya kesakitan "Makanya yang sopan jadi cewek, kalau makan kakinya itu yang bener!" Tukas Wijaya memperingati.

ALKANA [On Going]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang