17. Tujuh belas

180 34 4
                                    

"ALKA SINI KAMU ANAK KURANG AJAR! TIDAK TAHU DIRI! BERANI KAMU MEMUKULI ANAK SAYA HAH!"

Kanaya terkesiap, ia kaget bukan main mendengar teriakan penuh amarah itu.

Meskipun mamanya sering marah-marah dan mengomelinya sembari berteriak tapi mamanya tidak pernah terlihat semarah itu sampai menunjuk-nunjuk dengan jarinya.

"Alka__" Kanaya merapatkan tubuhnya pada Alkana yang saat ini sudah turun dari motornya.

Gadis itu memegang erat ujung baju yang Alkana kenakan hingga terlihat kusut. "Gue takut Al"

Alkana yang mengerti situasi pun lantas merangkul bahu Kanaya. Berusaha untuk memberikan ketenangan pada gadis itu. "Jangan takut ada gue disini" bisik Alkana.

Entah kenapa meskipun suara Alkana terdengar samar dan penuh keraguan tapi ucapan itu benar-benar manjur untuknya. Kanaya jadi lebih tenang sekarang.

"Sana sama mama biar gue yang ngomong sama orang itu"

Menurut, Kanaya lantas melepaskan diri dari Alkana dan langsung berlari menghambur ke pelukan Lira. Sementara Lira hanya bisa menangis melihat pemandangan didepannya.

Ini bukan yang pertama, kedua atau ketiga kalinya tapi entah kenapa hatinya masih sangat sakit tiap kali laki-laki itu datang kerumahnya dan memaki anak semata wayangnya.

Laki-laki itu tidak pernah punya hati.

"Kanaya ikut mama kedalam ya biar Alka yang bicara sama om itu"

"Tapi ma__" Kanaya ingin protes tapi Lira buru-buru menuntunnya masuk kedalam rumah.

Mungkin Lira tidak ingin Kanaya menyaksikan sesuatu yang tidak seharusnya ia ketahui.

"Ayo sayang kita kedalam"

"Iya ma"

Pada akhirnya Kanaya mengangguk juga. Ia berjalan mengikuti Lira dan membiarkan Alkana menyelesaikan urusannya.

"Alka gak bakal kenapa-kenapa kan ma?" Lira tersenyum melihat kepedulian yang Kanaya berikan pada putranya.

Ia lantas mengelus rambut Kanaya dengan sayang "Mama harap begitu"

***

Sejak setengah jam yang lalu, yang bisa Kanaya lakukan hanyalah mondar-mandir tidak jelas di kamar Alkana.

Pasalnya sejak ia dan Lira masuk tadi Alkana tidak juga menunjukkan batang hidungnya. Bagaimana Kanaya tidak khawatir coba?

Apalagi tadi ia sempat mendengar suara pukulan yang amat keras beberapa kali. Tidak masalah jika yang dipukul om-om jelek itu.

Tapi bagaimana jika sebaliknya? Bagaimana jika malah Alkana yang terkena pukulan om-om itu?

Bagaimanapun juga Alkana adalah satu-satunya musuh bebuyutan Kanaya. Ia tidak mau jika harus kehilangan musuhnya itu. Bisa suram nanti kehidupan remajanya di SMA Cendekia.

Yah, meskipun selama ini Alkana selalu membuatnya jengkel dan nyaris darah tinggi. Tapi tidak bisa dipungkiri jika kehadiran laki-laki itu telah membuat kehidupannya menjadi lebih berwarna.

Tidak lagi putih, hitam dan abu-abu seperti saat ia ditinggalkan Fatih dulu.
Ah kenapa juga ia harus memikirkan laki-laki tidak tahu diri itu? Buang-buang waktu saja!

"Lo mau gue anterin sekarang Kay?" Kanaya menoleh saat mendengar suara seseorang yang sejak tadi ia nantikan.

Tangannya terangkat untuk menutupi mulutnya yang terbuka lebar karena melihat keadaan Alkana yang jauh dari kata baik-baik saja.

ALKANA [On Going]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang