Jeju Island

10.5K 555 52
                                    

Tuhan, tolong hentikan jari ini.....

.

.

.

"Hinata, kau sudah siap?" Shion mendekati Hinata yang berbaring di atas tempat tidur sambil membaca buku dan memakan cemilan.

"Umm, aku tak yakin. Aku belum tanya kaa-chan boleh atau tidak, lagi pula aku tidak ingin berjauhan dari Naruto-kun." ia menundukkan wajahnya, menyembunyikan rona merah di sana.

Shion memutar mata, ia mengambil buku yang Hinata pegang dan meletakkannya di atas nakas. Lalu memandang sepupunya itu lekat-lekat.

"Kau itu sudah besar, tidak ada salahnya mengambil keputusan sendiri. Lagi pula, saat kau menikah, kita tidak akan bisa keluar bersama lagi. Kau akan sibuk dengan suamimu, lalu tidak lama kau akan sibuk mengurus anakmu." Shion menggerak-gerakkan tangannya di udara dengan lucu.

Hal yang di katakan Shion memang benar, hampir delapan belas tahun hidupnya ia tak pernah pergi kemanapun. Ia hanya di rumah, belajar, ke perpustakaan, belajar lagi. Meski hasil yang di dapat sangat memuaskan sih.

Tapi karna kebanyakan belajarlah ia bisa bertemu Naruto, yang ternyata adalah dosennya sendiri. Mereka dekat dan berpacaran selama setahun, setelah itu mereka bertunangan selama beberapa bulan. Dan setelah Hinata berusia delapan belas, akhirnya mereka memutuskan untuk melaksanakan pernikahan.

Hinata dan Naruto tak pernah terlibat dalam perkelahian, mereka selalu mengerti satu sama lain.  Kalaupun berbeda pendapat, salah satu akan langsung meminta maaf. Benar-benar hubungan yang sangat harmonis.

"Kaa-chan, emm Shion mengajak Hina liburan ke pulau Jeju." Hinata mengutarakan ajakan Shion pada ibunya saat makan malam.

"Apa tak apa? Kurang dari sebulan lagi kalian menikah, tidak baik jika kau bepergian terlalu jauh." Ayah Hinata menasehati.

Hiashi, nama ayah Hinata. Adalah seorang guru sekolah menengah atas yang bijaksana dan sangat di hormati. Begitupun oleh keluarganya sendiri.

"Berapa lama kau akan pergi memangnya?" tanya Hikari, ibu Hinata. Ibu rumah tangga yang sangat menyayangi anak-anaknya.

"Shion belum bilang, tapi mungkin seminggu. Kata Shion, dia juga mengajak Tenten-nee." Hinata menatap wanita keturunan china yang duduk di sebelahnya.

"Benarkah? Jika dia yang bayar semuanya, aku sih dengan senang hati akan ikut. Tapi aku izin pada kakakmu dulu." kata Tenten dengan mata berbinar, wanita yang tengah hamil itu nampak sangat senang, mungkin karna sudah lama ia tak jalan keluar, berhubung kesibukan suami yang tidak bisa di tinggal.

"Kalau kaa-chan sih terserah Hina saja, tapi minta izinlah dulu pada Naruto." kata Hikari memberi saran.

Mendapat lampu hijau dari sang ibu,  Hinata kemudian memandangi sang ayah. Hiashi menghela napas, lalu mengangguk.

"Jaga baik-baik adikmu ini ya." katanya pada Tenten.

.

.

.

"Mmmmhh." Hinata membuka mulutnya, membiarkan lidah Naruto menjelajah di sana.

Tubuh bagian atasnya sudah tanpa busana, hanya bra renda warna merah saja yang tersisa.

"Jadi, kau akan pergi, seminggu?" tanya Naruto, tangan lelaki itu mengusap perut rata Hinata ke atas dan ke bawah.

Hinata memejamkam mata, mengangguk. Menikmati belaian tangan calon suaminya itu.

ChangeTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang