"Love, kau masih marah denganku?" Harry sedang mati-matian membujukku setelah aku mengeluarkan diriku sendiri dari kamar tamu yang sudah mengurungku satu malam dan setengah hari. Sekarang aku berada di ayunan belakang rumah Harry dengan semangkuk buah di temani olehnya yang mendusel ke leherku.
"Pergilah." Balasku malas. Aku mendorong kecil kepala Harry dari pundakku namun tidak juga membuatnya menjauh.
"Aku sungguh minta maaf, baby. Aku tidak benar-benar menolakmu, hanya saja kesehatanmu lebih penting. Jika nanti aku berpikir kau sudah benar-benar sehat maka kita bisa melakukannya sesering yang kau mau, sayang. Please... Jangan marah lagi."
"Aku sudah tidak mau melakukannya, jangan berpikir jika aku akan memintanya darimu."
"Sayaaang." Harry merengek terjatuh dari ayunan lalu memeluk kakiku. Kepalanya berdiri di atas pahaku sembari menatapku melas. "Jangan seperti itu... Rasanya begitu menyiksaku. Maafkan aku, okay?"
Lucu melihatnya merengek seperti itu, ditambah Harry mengecupi perutku yang sudah sedikit membesar. Rasa geli tidak bisa menahan senyumku untuk keluar dan tertawa kecil karena tingkahnya. Aku membawa tubuh Harry kembali duduk di sisiku, rasanya sangat aneh jika harus berjauhan dan memarahinya seperti kemarin. Aku tidak bisa tidur jika tidak ada Harry yang menemaniku, bahkan melihatnya tertidur di depan pintu kamar tadi pagi saja membuatku tidak tega melihatnya.
Aku akan mengakhiri sesi merajukku dengan segera. Ku pindahkan tubuhku ke pangkuannya lalu meraih bibirnya untuk ku kecup lama. Entah sejak kapan aku berani melakukan ini padahal kemarin aku begitu menolaknya.
Ku kecup bibirnya, hidungnya, kedua matanya, keningnya, pipinya dan kembali lagi ke bibir untuk melumatnya. Rasanya aku begitu merindukan Harry padahal kami hanya tidak bertemu satu malam saja. Tangan Harry menahan punggungku sedikit menariknya ketika kepalaku berubah miring untuk meraih bibir bawahnya.
Ku akhiri ciuman lembut kami dengan cara mendorong wajahnya menjauh dengan tanganku lalu tersenyum menatapnya. Ia menatap mataku dengan lekat, ikut tersenyum menyatukan kening kami. "Terimakasih karena sudah tidak marah lagi padaku, love." Bisiknya.
Aku mengangguk mengadu bulu mata dengan Harry lalu tertawa kecil dan memindahkan diri darinya namun ia menahanku dan hanya memutar tubuhku agar bersandar di dadanya. Tangan besarnya mengelus perutku dengan penuh kasih sayang, sesekali bibirnya mengecup pipiku basah. Aku sangat merasa di cintai melebihi ayahku.
"Kita akan menjadi keluarga utuh sebentar lagi," bisiknya. "Kau menginginkan rumah yang lebih besar untuk keluarga kita? Aku bisa membawa Zayn untuk tinggal di rumah baru kita jika kau mau."
"Aku nyaman berada disini." Balasku ringan. "Bukankah ini rumah masa muda mu dulu?"
"Kau tau dari mana?" Harry berujar cepat.
"Anne."
Kurasakan bibir Harry tertarik lebar dan kembali mengecup leherku dengan gemas. Ia melingkarkan kedua tangannya di atas tubuhku seolah menjagaku begitu ketat. Kakinya mengayun ayunan kami membuat suasana semakin indah saja. Aku meraih mangkuk buahku lalu meletakkannya di atas perutku sembari merasakan indahnya dicintai. Rasanya hatiku berbunga-bunga karena mendapat perlakuan halus dari keluarga Harry di tambah mereka yang menyambutku seperti anak kandung mereka sendiri. Berbeda dengan perlakuan mereka pada mantan istri Harry dulu.
Harry menceritakan masa mudanya, dimulai dari ia yang pertama kalinya kehilangan adik tercintanya saat dalam kandungan sehingga membuat Anne begitu larut dalam kesedihan. Anne tidak bisa lagi mengandung setelah keguguran karena rahimnya ikut diangkat. Penyakit ganas menyerang Anne membuatnya begitu merasa kehilangan. Saat Harry tau Anne tidak lagi bisa mengandung, ia selalu memberi semangat pada Anne. Ia berkata jika akan mengganti adik kandungnya dengan cucu yang menggemaskan namun setelah setahun menikah mereka tidak diberi keturunan karena Hannah memang tidak bisa mengandung.