Aku kehilangan harapanku.
Masa depan yang sudah ku susun mendadak hancur di terpa ombak dahsyat yang terjadi beberapa hari yang lalu. Semua tiket, semua rencana hangus tidak terjamah lagi karena aku sendiri tidak tau akan pergi kemana kecuali kamarku dan mendiang istriku.
Tempat yang aku favorit kan diseluruh rumah ini. Tempat yang meninggalkan jutaan kenanganku bersamanya. Tempatku menggelung diri bersama semuanya.
Anak terakhir yang dia berikan padaku begitu cantik, bahkan wajahnya sangat mirip dengannya. Aku tidak menyangka ini adalah peninggalan terakhirnya. Terpukul tentu saja, siapa yang tidak merasa terpukul jika kehilangan satu-satunya orang yang telah merubah hidupmu? Sheryl selamanya akan tersimpan dalam hati dan tidak akan pernah terganti. Aku bersumpah pada Tuhan jikalau pun aku menemukan orang yang lebih dari Sheryl aku tidak akan berpaling dari cinta terakhirku.
Rasa hangat dan aroma wangi selalu merasuk di hidungku tiap sore menjelang. Di titik favoritnya aku duduk memangku anakku, dan hanya terdiam tanpa melakukan apapun. Hanya itulah waktu dimana aku bisa merasakan hadirnya di sampingku. Memelukku erat dan menyambangiku yang sudah seperti mayat hidup ini.
Aku menoleh ketika mendapati seseorang di ekor mataku. Sheryl. Itu Sheryl. Jantungku bergetar kecil melihat eksistensi nya berada disisiku tengah memandang jenak anak kami. Apa ini mimpi?? Jika ini adalah mimpi aku enggan untuk bangun dan tolong pada siapapun untuk tidak membangunkan diriku.
"Beautiful right?" Bisiknya lalu mendongak. Netra kami bertemu dan aku bisa melihat pancaran wajahnya yang sangat hangat dan berseri. Ia menunduk kembali menatap anak kami lalu mengelus keningnya lembut.
"Sh--sheryl...?" Bisikku masih tidak percaya jika dia sungguh ada disini.
"Siapa namanya?"
Aku diam melihat bibir tipisnya tersenyum, seolah dia masih benar-benar hidup. Matanya masih sama, tidak ada yang berubah. Hanya dirinya yang terlihat ideal ditambah cahaya putih mengelilingi tubuhnya. "I missed you." Balasku menghiraukan pertanyaannya.
Sheryl mendongak, diatas lututnya dia memandangku, menyentuh kepalaku dan merapikan rambutku yang mulai memanjang. "Anggap saja kita hanya berpisah waktu. Aku hanya akan pergi ketika kau mengikhlaskan aku pergi. Selamanya aku akan disini, dan dia.." jemari lentiknya menyapu kening anak terakhir kami dengan lembut.
"Serry." Ucapku.
"Dan Serry akan selalu bisa merasakan kehadiranku. Dia akan mengatakan apapun yang aku katakan untuk men-cerewetimu setiap saat."
"Apa kau bersungguh-sungguh?" Air mata mulai bergerumul di mataku. Rasanya aku begitu cengeng dihadapan wanitaku, aku kehilangan kejantananku di hadapannya karena hanya di depannya lah aku mengeluarkan sisi positif ku.
"Yeah." Dia terkekeh kecil. Tubuhnya bangkit mencium keningku begitu lama, meninggalkan jejak basah di sana. "Just remember I'll be here 'till you dump me."
"I'll never dump you, baby. Never."
"I should go."
"Tidak! Sheryl tunggu! Bagaim-- Sheryl! Dengarkan aku! Sheryl!"
"Dad! Dad! Hei! Dad!" Tubuhku tergoncang sedikit kuat, mataku terbuka nyalang, rasa panik langsung menyerbu diriku ketika tidak lagi mendapati eksistensi Sheryl di sisiku.
"Dimana Sheryl?" Tanyaku pada Jasmine anak perempuanku yang paling tua. Tubuhku bangkit, aku ingin mencari Sheryl dengan kakiku sendiri namun Jasmine menghalangi aku. "Biarkan daddy pergi, Jasmine. Daddy ingin mencari mommy!"
"Dad! Dad! Mommy's not here! She died 2 weeks ago!"
Hatiku mencelos mendengarnya. Ternyata itu hanya mimpi. Sheryl tidak benar-benar datang kemari mengunjungiku. Air mataku tumpah mengingat wajah cantiknya terbayang melintas di mataku. Sherylku telah tiada.
