Hari demi hari berlalu begitu cepat hingga tanpa sadar hari ini adalah hari pernikahanku dengan Harry. Tentu aku sangat gugup memandangi diriku sendiri di depan cermin mengenakan gaun pilihanku. Rambutku sudah di tata begitu rapi, wajahku sudah dirias begitu natural namun sangat cantik. Aku bahkan tidak mengenali diriku sendiri. Sudah 4 bulan kehamilanku berjalan dan perutku semakin membesar terisi oleh bayiku. Aku mengelusnya lembut, mencoba meyakinkan kami untuk menjalani pernikahan pertama dan terakhirku.
"Kau sudah siap?" Zayn masuk ke kamar dengan bunga pernikahan di tangannya. Aku mengangguk membuatnya menyerahkan bunga pernikahan itu padaku. "Jangan gugup, kau terlihat jelek." Ujarnya menggandeng tanganku untuk keluar.
Aku mendecak malas memukul lengannya sekuat yang aku bisa. Ia terkekeh menarikku ke mobil untuk berangkat ke altar. Kali ini Zayn yang akan menyerahkan diriku pada Harry, mengingat sudah tidak ada perwakilan yang bisa kuandalkan lagi. Ia tidak pernah mengakui jika aku cantik padahal aku sudah memujinya ia sangat tampan dengan jas dan kemejanya. Rambutnya yang panjang ia kuncir ke belakang membuat semua wanita semakin jatuh hati padanya.
"Kau kapan akan menikah, Zayn?" Tanyaku di sela keheningan kami. Harry menyuruh satu orang supir untuk menjemput kami, agar aku tidak kerepotan naik motor karena hanya motor yang Zayn miliki.
"Nanti." Balasnya acuh. Ku rapatkan dudukku padanya lalu memeluk lengannya yang sibuk bermain ponsel.
"Terimakasih sudah mau menjagaku selama ini Zayn. Jika kau tidak peduli denganku setelah ibuku tiada mungkin aku sudah hidup menggelandang di jalanan."
"Aku tidak pernah peduli denganmu, Sheryl. Aku hanya menjalankan amanat ayahku. Kau juga tidak sepenuhnya aku jaga karena kelalaian ku yang membuatmu hingga sekarang. Hamil diluar nikah, terpaksa menikahi pria bajingan itu dan bahkan kau seperti tidak membencinya sama sekali."
"Aku membencinya dulu, tapi kau sendiri yang mengatakan untuk hidup akur dengannya. Bagaimanapun juga aku tengah mengandung anak yang tidak bersalah atas hubungan kami. Kau bilang aku seharusnya tidak menyingkirkannya."
"Apa itu yang membuatmu bisa mencintainya?"
"Tidak tau, sikapnya juga sangat manis dari awal pertemuan kami. Aku tidak tau persis kapan aku mulai menyukainya."
Zayn mencibir ucapanku lalu menunduk menempatkan wajahnya di depan perutku. Tangannya mengelus perutku lama sekali seperti sedang membicarakan sesuatu. Hatiku menghangat melihatnya.
"Apa yang kau bicarakan?" Tanyaku penasaran.
"Rahasia." Balasnya menyentil keningku. Aku cemberut mengelus keningku sendiri lalu terdiam hingga mobil yang kami tumpangi sampai di gereja. Aku turun di bantu oleh Zayn karena gaun yang kukenakan sangat ribet sehingga membutuhkan bantuan tangannya.
Di sana kami sudah disambut meriah oleh beberapa orang di depan gereja, menaburi kami dengan bunga putih dan juga merah muda. Degup jantungku berdebar sangat keras menunjukkan jika aku memang benar-benar gugup. Ku remas lengan Zayn ketika kami berjalan perlahan menghampiri Harry yang menungguku dengan haru.
Aku melihat manusia-manusia disekelilingku yang bertepuk tangan ria menyambut kedatanganku. 90 dari semuanya tidak aku ketahui siapa saja namun aku yakin mereka adalah kerabat dekat Anne, Desmond dan juga Harry.
'Dia bahkan sangat cantik.' bisik seseorang yang masih bisa kudengar. Apakah aku secantik itu?
"Tersenyumlah, tunjukkan wajah bahagiamu." Bisik Zayn ketika kami hampir sampai di hadapan Harry.
Pria itu tergelak kecil menghapus air mata di sudut matanya sembari menatapku terus-terusan. Ia seolah memujaku dengan tatapannya yang lembut. Baru kali ini aku melihatnya seperti itu. Harry menuruni satu anak tangga untuk meraihku, membuatku menoleh kepada Zayn dan ia mengangguk. Aku meraih tangan Harry lalu naik satu anak tangga dan menatap Zayn yang sepertinya ingin mengucapkan sesuatu.