Harry POV
Aku duduk saling berdiam diri dengan Zayn di depan ruang rawat Sheryl. Terimakasih pada Tuhan karena gadisku baik-baik saja. Semua lukanya sudah di obati, ia hanya stress karena pukulan yang ia alami dan tebakan Zayn seratus persen tidak meleset. Sheryl hamil. Hamil anakku. Rasa bahagia langsung membuncah ketika kabar itu mendarat di telingaku, tidak akan lama lagi aku akan menimang anakku sendiri. Oh mungkin sedikit lama karena Zayn pasti tidak merestuinya.
Kami saling mengunci mulut ketika kabar itu di lontarkan oleh dokter. Aku tau Zayn pasti kecewa dan marah, ia juga sudah melampiaskannya padaku di toilet tadi. Ia menghajarku habis habisan hingga aku tidak lagi bisa menarik senyum. Wajahku seluruhnya lebam namun aku meyakinkan kedua orang tua ku jika aku baik baik saja. Mereka tengah menjaga Sheryl di dalam ruangan dan mungkin berkenalan lebih dekat. Orang tua ku pasti sangat bahagia sekarang. Terlebih ibuku. Ibuku yang sudah menanti cucu pertamanya sangat lama.
Clek
Pintu terbuka memunculkan dokter, sekilas aku melihat Sheryl yang melihat kami dengan air mata yang merembes keluar. Apa yang sedang mereka bicarakan hingga ia menangis seperti itu. "Zayn!" Teriaknya membuat dokter yang hendak menutup pintu kembali membukanya.
"Zayn?" Panggil dokter membuat Zayn terdiam dan menatap Sheryl dari kejauhan.
"Pergilah, Sheryl membutuhkanmu." Ujarku mencoba ramah dengannya.
"Diam!" Bentaknya menoleh ke arahku. Ia lantas bangkit masuk kedalam ruangan, membuat kedua orang tuaku memberikan waktu untuk keduanya.
"Jadi?" Tanyaku pada dokter.
"Ah ya, aku lupa mengatakan ini. Kehamilan Sheryl masih muda di tambah umurnya yang masih menginjak 17 tahun ia harus lebih berhati-hati mulai sekarang. Aku menyarankannya untuk bed rest kurang lebih dua bulan setidaknya sampai bayi nya benar-benar kuat. Kalian harus membantunya, jangan biarkan ia stress dan selalu merasa sedih. Itu akan mempengaruhi keadaan bayi nya."
"Bagaimana dengan kontrol?"
"Kalian bisa menelfon salah satu dokter kandungan di rumah sakit ini, aku akan berkoordinasi dengan mereka agar mereka mau melakukan kontrol di rumah kalian."
Aku mengangguk mengerti atas semuanya. Sheryl harus bed rest 2 bulan dan menurutku itu kurang. Aku benar-benar tidak ingin terjadi sesuatu yang buruk pada Sheryl dan juga anak pertamaku. Aku akan benar-benar menjaganya sepenuh hatiku dan memberikan seluruh pusat perhatianku padanya. Aku harus membahagiakannya.
"Apa kau sudah berbicara padanya?" Tanya ku pada ibuku setelah dokter itu pamit undur diri.
"Yeah, dia sangat tidak menerima keadaannya yang sekarang Harry. Berulang kali aku meyakinkannya namun ia terus menolakku. Ia berkata jika dirinya masih muda dan ingin meneruskan sekolahnya."
Sudah kuduga.
"Lalu?"
"Aku tidak tau, Harry. Ia bilang ingin memikirkan semuanya bersama dengan Zayn. Bagaimanapun juga Zayn adalah sanak keluarga satu-satunya yang ia miliki sekarang."
Aku menghela nafas panjang membanting diriku sendiri di atas kursi. Bagaimana jika Zayn malah membujuknya untuk mengakhiri semua ini? Bagaimana jika Zayn membujuknya untuk pergi meninggalkan aku dengan anak kami ? Bagaimana jika sekali lagi Zayn membentak Sheryl begitu kasar membuatnya stress dan kehilangan bayi kami? Aku tidak bisa membiarkannya namun aku juga tidak mau Sheryl semakin membenciku. Aku ingin mendapatkan kepercayaan gadis itu.
"Apa yang harus aku lakukan mom? Aku takut jika Zayn mengatakan sesuatu yang negatif pada Sheryl."
"Tenanglah, nak. Jika Zayn nanti sudah keluar kau harus berbicara dan meyakinkan Sheryl jika anak kalian adalah masa depan kalian juga."