11

1.1K 326 24
                                    

"Ardan! Mau kemana?!"

"Ke gedung Aula,Bu!"

Guru pendampingnya itu cuma bisa geleng-geleng melihat Ardan yang berlari membawa medalinya sedetik setelah acara selesai.

Ardan kalut sekali. Saat mengerjakan soalnya pun pikirannya tidak di sana. Pikirannya membawa dirinya ke gedung aula utama,tempat Wicak tampil. Sungguh,kalau boleh dia membawa kabur soalnya itu dia akan bawa ke gedung aula utama,mengerjakannya di sana. Karena Wicak selama ini tidak pernah mau memerlihatkan tariannya barang sekali kepadanya. Selalu bilang kalau Ardan harus melihatnya saat tampil agar dia terpukau.

Tapi sekarang, saat Wicak tampil dia justru berkutat dengan soal menyusahkan ini.

"Pak,dimana ya gedung aula utamanya?" Ardan bertanya pada guru di sana.

"Oh di sebelah gedung yang ini,Dek."

"Makasih,Pak!"

Ardan lanjut berlari,ternyata dia salah arah dan mau tidak mau harus berputar arah lagi.

Gedung aula itu ramai sekali. Banyak siswa yang ikut menonton dan bertepuk tangan,karena sekarang sudah pengumuman pemenang. Mata Ardan men-scan orang-orang yang ada di atas panggung. Diantara orang-orang yang memegang piala itu tidak ada Wicak. Kemana temannya itu?

"Bu,lihat Wicak nggak?" tanya Ardan kepada Bu Ria di sana.

"Mungkin ada di toilet,Dan."

Dan tanpa permisi,Ardan langsung berlari lagi. Dia harus cepat-cepat menemui sahabatnya itu,meluruskan apa yang bengkok sebelum terlambat.

Ardan menemukannya,Wicak yang sedang mengguyur kepalanya di bawah keran wastafel. Banyak sekali tisu bekas untuk menghapus riasan yang berserak di sana.

Wicak mengangkat kepalanya,menatap Ardan di ambang pintu dari pantulan cermin.

"Wi--"

"Menang ya?"

Ardan bungkam,suara Wicak rendah dan berat sekali. Seperti bukan dirinya.

"Aku penasaran sekali rasanya berada di puncak."

"Cak,maaf tadi aku--"

Kalimat itu terhenti,tepat ketika Ardan melihat mata merah sahabatnya. Membuatnya semakin bersalah.

"Cak,sungguh aku minta ma--"

"Bukan salah mu. Ini salah ku." Wicak mengelap wajahnya kasar,dan Ardan hanya menatapnya bingung.

"Aku yang salah,Tama. Harusnya...aku sadar kalau orang bodoh tanpa bakat seperti ku memang nggak pantas berteman dengan mu." Wicak tersenyum miris.

Ardan menggeleng lemah,"bukan begitu."

"Memang begitu." Wicak berbalik badan,menatap langsung Ardan."Berjuanglah di Jakarta nanti. Maaf sudah jadi penghambat."

Wicak berjalan keluar,saat bersisian dengan Ardan dia berhenti. Wicak menepuk bahi itu sekali,

"selamat,Ardan."

Dan melenggang pergi.

***

"Tama! Ayok makan!"

Masih hening. Sudah tiga kali Adrian membujuk adiknya itu untuk makan sejak dia pulang lomba. Tapi nihil,menjawab sapaannya pun enggan. Sedang susu coklat di tangannya mulai dingin.

"Tama,kamu kenapa sih?" masih sebuah pertanyaan. Dia masih cukup sabar untuk tidak membuka paksa pintu kamarnya itu. Dan di rumah itu hanya ada dia dan adiknya,bunda menemani ayah di rumah sakit.

MAGIC √ [SUDAH TERBIT]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang