Wicak berguling-guling di ambal ruang tengahnya. Mengganti-ganti chanel tv dengan cepat,mencari kartun kesukaannya tapi tak kunjung dia lihat.
"Kenapa diganti-ganti terus,Wicak?"
Wicak menengok,menemukan Ayahnya keluar kamar dengan tongkat di tangannya."Bosan,Yah. Nggak ada yang menarik. Acara gosip nggak penting semua." dan Wicak mematikan tv itu.
Ayahnya duduk di ambal,lumayan dekat dengan Wicak. Wicak mendekat,mengambil satu tangan Ayahnya,meletakkannya di pucuk kepalanya. Sebuah simbol yang selalu Wicak lakukan untuk mengatakan 'aku ada di sini'.
Ayah mengusap rambutnya,"tidak terasa kau sudah SMP,Cak."
"Hehe iya dong."
"Tumben sekali nonton tv,biasa pergi mancing di kebun belakang sama Ardan."
Wicak mendadak cemberut,"Tama lagi pergi sama kak Dana sama Bundanya juga."
Ayahnya diam sebentar,teringat percakapannya dengan bunda Ardan tadi pagi. Percakapan yang cukup menyakitkan.
"Wicak."
"Ya?"
"Ayah tau kamu anak yang baik dan sabar. Ardan pasti juga berpikir seperti itu. Jadi..."
Wicak masih menunggu lanjutan Ayahnya.
"...tetap jadi Wicak yang biasa,ya?" pertanyaan itu diakhiri senyuman khas ayahnya.
"Siap bos!"
***
Ardan sampai di rumah sakit. Ia masih berpikir kalau bunda dan kakaknya itu berbohong soal Ayahnya yang masuk rumah sakit,tapi ternyata sungguhan.
Langkahnya berat sekali,lorong itu terasa panjang dan tidak berujung. Juga aroma obat dan alkohol tercium dimana-mana,cat putih khasnya pun terlihat memuakan.
Lebih parah dari ruang UKS
Ardan telah sampai,di ruang serba putih tempat ayahnya terbaring.
Matanya membulat melihat ayahnya dengan beberapa selang yang tidak diketahui Ardan. Yang ia tahu,ayahnya pucat sekali.
"Yah?" sapa Ardan pelan.
Lelaki itu menengok,melihat kedua putranya juga istrinya di sana.
"Ayah sakit apa?" Ardan memegang lengan ayahnya.
"Ayah cuma kecapean aja,Ardan. Kebanyakan kerja." jelas ayahnya. Suaranya serak sekali,membuat Ardan semakin sendu.
"Jangan capek lagi ya,Yah. Suruh aja Kak Dana kalau butuh apa-apa." Ardan melirik ke kakaknya di sisi lain ranjang Ayahnya.
"Enak aja aku doang. Kamu juga,Tama."
"Aku kan masih kecil."
"Dasar manja."
"Biarin."
"Sok ganteng."
"Memang ganteng dari lahir."
"Masih ganteng aku ya!"
"Tapi aku lebih pinter."
"Aku lebih lebih pinter."
"Udah,udah." Ucap ayahnya menghentikan perdebatan tidak penting itu. Membuat kedua putranya cemberut.
Tangan ayah menggapai kedua putranya,menggenggam mereka.
"Dua putra Ayah sama-sama ganteng,sama-sama pintar. Apa yang diperdebatkan?"
"Aku lebih pintar,Yah." Bela Ardan,masih mempermasalahkan itu sepertinya.
KAMU SEDANG MEMBACA
MAGIC √ [SUDAH TERBIT]
Fanfiction[Tersedia di Shopee] [ Namseok Local AU ] [COMPLETE] . . . "Kak." "Ya?" "Wicak itu penyihir ya?" Karena Ardan selalu berpikir bahwa semua penyihir akan memakai sebuah tongkat atau topi lancipnya, tetapi setelah melihat Wicak, rasanya dua benda itu t...