Pagi itu,sekitar jam 10, Wicak kecil sedang mengantri,membeli es krim vanila kesukaannya. Umurnya baru-baru saja genap enam tahun,tapi dia selalu memegang perkataan oma nya,salah satunya 'jangan pernah menyerobot antrian sekalipun umur mu masih enam tahun'.
Lapangan depan Sekolah Dasar itu ramai sekali hari ini. Bukan karena alasan lain,tapi memang hari ini adalah hari tujuh belasan. Mata Wicak melebar ketika melihat bapak-bapak lomba balap karung di tengah tanah lapang itu. Pasalnya ada yang sibuk dorong-dorongan hingga terjatuh,membuat peserta yang lain ikut tumbang. Seperti efek domino.
"Dek,mau yang rasa apa?" Mas-mas itu sedikit menunduk,menyamakan tingginya dengan Wicak. "Rasa Vanila,Om!" Wicak menunjuk gambar es krim cone vanila itu.
Om? Padahal gue belum nikah :(
"Oke!" Mas-mas itu menyendok es krim vanila itu,sedang Wicak terus memerhatikannya sembari berpikir betapa enaknya menjadi tukang es krim,karena bisa makan es krim setiap waktu juga tidak perlu mengantri seperti dirinya.
"Ini es krimnya,Dek." Wicak mengambil sesuatu di kantong celananya,memberikan selembar uang dua ribu rupiah kepada tukang es krim itu. "Ini om uangnya,makasih ya,Om!" Es krim sudah di tangan,Wicak pergi dengan langkah ringan. Tidak tahu kalau tukang es krim tadi menatap nanar uang dua ribu itu, "Dek,harga es krimnya tiga ribu."
***
Wicak kecil berjalan riang sekali. Ini pertama kalinya dia diperbolehkan untuk jalan-jalan keluar rumah tanpa oma nya. Meski jarak lapangan dengan rumahnya hanya sekitar sepuluh menit berjalan kaki,tapi Wicak tetap menganggap ini seperti solo travel.
Mata hitam Wicak sibuk menyisir sekitar,mencari tempat duduk agar nyaman menikmati es krim vanila di tangannya. Kata oma,'tidak boleh makan sambil berdiri,nanti makannya dibantu sama setan'. Wicak tidak mau berbagi es krim rasa kesukaannya dengan setan,tidak akan mau,karenanya dia mencari bangku biar bisa makan es krim secara solo.Tapi nihil,bangku di lapangan yang memang tidak banyak itu sudah diisi oleh anak-anak sebayanya,bahkan ada orang dewasa. Dia jadi berpikir,betapa egoisnya orang dewasa itu menduduki tempat yang bisa jadi itu hak Wicak.
Seperti telepati,orang dewasa itu beranjak pergi dari tempat duduknya. Baru saja Wicak hendak bergegas,indra pendengarannya menangkap suara isakan. Mata hitam itu kembali menyisir,dan Wicak menemukan sumbernya.
Seorang anak lelaki sedang terisak di dekat tukang batagor.
Meski hasratnya berkata dia harus duduk segera di bangku kosong tadi,tapi hati kecil Wicak berbisik untuk mendekati anak lelaki itu. Terlihat seumuran dengannya,dan juga matanya sedikit sembab.
Tergerak,akhirnya Wicak mengikuti bisikan hati kecilnya,menghampiri anak itu.
"Kamu kenapa?" Wicak bertanya,sedang anak di depannya masih terisak kecil. Entah kenapa tapi Wicak ikut merasa sedih,meski tidak jelas alasannya apa.
"Kamu kok nangis ?" Wicak masih menuntut jawaban,menahan agar dirinya juga tidak ikut sedih.
"Kakak aku... Hi-hilang." jawab anak itu diselingi isakan. Wicak hampir ikut menangis. Entah kenapa rasa sedih bisa sepersuasif ini?
"Kok bisa hilang?"
"Eng-nggak tahu... Aku takut kakak aku diculik alien." Jawaban anak itu membuat Wicak kaget. Benar juga,di episode minggu lalu power ranger kesukaannnya berhasil mengalahkan alien. Bagaimana kalau alien itu menculik manusia,lalu mencuci otak mereka,membuat aliansi baru,dan mencoba balas dendam? Seram sekali.
"Yaudah,ini kamu makan es krim ku aja." Wicak menyodorkan es krim vanila yang setengah mencair itu. Anak di depannya menggeleng, "nggak mau,itu kan punya mu."
Tangan Wicak yang kosong meraih tangan anak itu,memaksanya menggenggam cone es krim yang belepotan karena mencair, "tapi sekarang ini punya mu. Kata oma es krim bisa bikin kita berhenti sedih."
Anak itu diam dan mulai menikmati es krim pemberian Wicak,sedang Wicak sibuk mengelap tangannya yang belepotan es krim di bajunya.
"Gimana? Sudah nggak sedih kan?" Tanya Wicak. Anak di depannya menggelengkan kepala.
"Kamu mau ikut aku nggak?" Tanya Wicak lagi. Rasanya tidak tega meninggalkan anak itu sendirian.
"Kemana?"
"Ke rumah aku. Nanti oma bisa bantu kamu buat nemuin kakak kamu." Tawar Wicak. Dia menjelaskannya riang sekali. Sedang lawan bicaranya menunjukan wajah bingung,juga masih dengan isakan meski sudah cukup mereda.
"Percaya sama aku,kita bisa temuin kakak kamu lagi! Power ranger merah tidak pernah takut apapun!" Hari itu Wicak mengenakan baju power ranger dan warnanya merah,lihat bagaimana Wicak menjiwai sekali perannya.
Meski hanya isakan kecil yang Wicak dapat. Tapi tidak menurunkan niatnya untuk membantu anak itu. Wicak mengelap sisa air mata di pipi anak itu,juga mengelap es krim yang belepotan. Sedang yang menerima afeksi tetap diam menatap lurus mata hitam Wicak,mencari-cari kebenaran atas yang diucapkan si empunya.
Wicak menggenggam bahu anak itu,"jangan menangis. Jagoan tidak butuh air mata saat kehilangan. Karena yang dibutuhkannya hanya rasa berani untuk mencari apa yang hilang."
Anak itu tertegun sebentar sebelum tersenyum dan mengangguk pasti. Wicak tersenyum sebentar,kemudian menjulurkan tangannya, "nama aku Wicak."
Anak di depannya memindahkan posisi es krim ke tangan kirinya,lalu ikut menjulurkan tangan,menjabat tangan itu, "nama aku Ardan."
Detik berikutnya mereka tersenyum sebentar,lalu Wicak menarik tangan itu. Berjalan beriringan dengan langkah riang dan ringan menuju rumahnya.
***
Clematis_ akhirnya debut dengan genre seperti ini :)
Sungguh gue nggak jago buat drama,apalagi cerita yang kaya gini.
Semoga kalian enjoy aja ya. Dan bisa ngerasain feel yang kaya gue rasain juga.
Jangan lupa vote dan comment ya :)
Semua komentar bakal dibalas :)
KAMU SEDANG MEMBACA
MAGIC √ [SUDAH TERBIT]
Fanfic[Tersedia di Shopee] [ Namseok Local AU ] [COMPLETE] . . . "Kak." "Ya?" "Wicak itu penyihir ya?" Karena Ardan selalu berpikir bahwa semua penyihir akan memakai sebuah tongkat atau topi lancipnya, tetapi setelah melihat Wicak, rasanya dua benda itu t...