18

1.3K 356 37
                                    

*sangat direkomendasikan untuk memutar lagu di atas,kalau habis diputar ulang saja :) *
.
.
.

"Bun,Tama dimana?"

"Ada di kamarnya. Tolong bujuk dia keluar ya,Wicak."

Wicak mengangguk,itu juga yang ia ingin lakukan.

Hari ini,lagi,rumah kelurga Husda kembali ramai. Orang berdatangan,bukan untuk syukuran,acara,juga pesta. Hari ini mereka berkabung lagi,memanjat serangkaian doa menghantar ruh Adrian menuju sisiNya. Hari ini,kejadian tiga tahun lalu terulang lagi. Dan hari ini dunia kembali kehilangan penduduk nya yang baik hati.

Ardan sedari pagi,belum memunculkan diri. Masih mendekam di dalam kamar,enggan keluar barang sekali.

Wicak mengetok pintu kamarnya,tidak ada jawaban. Dua hingga tiga kali pun sama,tidak ada jawaban. Dia mencoba memutar knop,terbuka tidak dikunci.

Wicak membuka pintu lebih lebar,dan dia lihat. Ardan,duduk di sisi ranjangnya dengan satu tangannya memegang sebuah cutter.

Tanpa berpikir,Wicak bergerak,merampas cutter itu dan melemparnya asal. Persetan dengan tangannya yang terluka,asal benda itu tersingkir.

"Cak,tangan lo--"

Wicak menarik kerah baju Ardan,dan menghempaskan tubuh itu ke ranjang.

"LO MAU NGAPAIN BRENGSEK?!" Napasnya berburu,juga wajahnya memerah karena emosi.

Ardan kembali duduk di sisi ranjang,menatap nanar ke arah Wicak.

"Gue capek,Cak. Hidup gue kacau. Bahkan belum sembuh luka gue dari tiga tahun lalu,dan sekarang lagi."

Napas Ardan mulai tersengal.

"Gue nyerah,Cak." tubuhnya mulai gemetar.

"Bahkan gue bunuh kakak gue sendiri." satu isakan terlontar.

"Lo nggak bunuh siapa-siapa,Tama. Itu kecelakaan." Wicak menunduk,menyamakan tingginya dengan Ardan.

"Lo bisa bilang begitu,karena lo nggak ada di posisi gue!" nadanya menyentak,mengejutkan Wicak.

"Lo nggak tau,Cak. Gue sakit banget sekarang. Ayah gue udah nggak ada,dan sekarang Kakak gue. Bunda juga udah nggak sayang sama gue. Gue mau kemana? Udah nggak ada siapa-siapa lagi." nadanya sungguh melemah sekarang,diselingi isakan.

Wicak juga ikut hancur,tubuh di depannya ini nampak lemah sekali. Ia menggenggam kedua bahu itu,menatap lurus mata yang berair. Meski tubuh Wicak juga sama gemetarnya.

"Gue nggak pernah bilang ini,Tam. Hanya sekali ini,tolong dengerin gue." cengkramannya di bahu Ardan menguat.

"Gue memang nggak tau apa yang lo rasa. Sesakit apa itu,gue nggak tau." Wicak mengambil napas.

"Tapi Tama,setiap lo sedih,setiap lo nangis gue ikut hancur. Gue sama hancurnya. Melihat lo jatuh,terpuruk kaya gini,lo pikir gue kuat,Tam? Enggak! Meski gue nggak tau seberapa rasa sakit yang lo rasain,"

"Jadi gue mohon,bagi ke gue. Bagi ke gue rasa sakit lo itu. Setengah,seperempat atau bahkan semua. Gue rela,gue mau. Demi rasa sakit lo berkurang,Tam. Demi lo."

Ardan menunduk,tangisnya semakin keras. Wicak duduk di sampingnya menarik tubuh itu jatuh dalam peluknya. Membenamkan kepala itu dalam dada Wicak,biar tangisnya pecah di sana. Biar rasa sakitnya berpindah ke Wicak.

"Cak."

"Hmm?"

"Ayah gue udah nggak ada."

"Ada gue."

MAGIC √ [SUDAH TERBIT]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang