5

1.3K 369 67
                                        

"Pak Edi beneran nggak masuk?"

"Nggak cuma pak Edi,Dan. Semua guru lagi rapat."

"Ooh~" Ardan kembali fokus dengan bukunya. Sejak Heru masuk kelas tadi,dia bilang kalau ada tugas yang diberikan guru.

"Kau tau mereka sedang rapat apa?"

Heru menatap wajah teman sebangkunya itu malas,maksudnya 'hei apa-apaan pertanyaan konyol itu?'

"Aku cuma ketua kelas,Dan. Bukan mata-mata." dan lawan bicara itu hanya 'hehe' saja.

Bisa dibilang di kelas ini hanya Heru yang bisa sedikit mengimbangi percakapan Ardan yang kadang random dan tiba-tiba. Juga mengimbangi dalam hal diksi,percayalah ucapan Ardan masih terlalu tinggi untuk anak seumurannya.

Selain itu mereka sedikit berkompetisi dalam hal peringkat kelas. Meski selalu Ardan yang berada di puncak,dan Heru di posisi kedua. Heru sama kikuknya dengan Ardan. Tidak,dia tidak phobia keramaian hanya memang dia sedikit 'dingin' dan terlalu pilih-pilih dalam berteman,bisa dibilang dia punya standar sendiri untuk menjadi temannya. Dan Ardan memenuhi standar itu.

"Berarti kelas Wicak juga tidak ada gurunya,ya." pandangan Ardan mengawang,kembali ke dua hari yang lalu saat dia mendatangi Wicak di kelasnya.

"Hmm,begitulah." Heru menoleh ke Ardan,"tugas mu sudah selesai?"

"Sudah."

Heru diam,mengamati buku yang sekarang penuh dengan angka. Bahkan,Heru belum sampai separuh mengerjakan tugas matematika ini.

"Seperti yang diharapkan peringkat satu." dan Heru kembali fokus pada tugasnya.

Ardan tertawa sebentar,"tapi kau yang juara dua lomba matematika kemarin,Her. Kau lebih pintar dari ku."

"Itu hanya keberuntungan,Dan."

"Sama. Peringkat ku juga hanya keberuntungan."

"Sejak kelas satu berada di puncak peringkat,apa itu juga keberuntungan?"

Ardan tersenyum miring sebentar,"mungkin." pandangannya kembali pada luar jendela.

"Kau akan lanjut di SMP mana?" Heru masih fokus mengerjakan tugasnya,berbicara tanpa menatap lawannya.

"SMP 1 mungkin."

"Sekolah favorit ya."

"Bukan,bukan karena itu. Sekolahnya lumayan dekat dengan rumah,jadi yaa di situ aja." Tentu dia tidak mau tumbang kelelahan di jalan sebelum sampai sekolahnya.

"Dengan Wicak?" Heru menutup bukunya,sudah selesai bergelut dengan soal dan bisa fokus pada teman jeniusnya ini.

"Iya. Dia juga bilang akan masuk sana. Ekskul tari disana maju sekali,karena itu Wicak ingin bergabung." Info ini ia dapat dari Adrian yang bersekolah disana,juga ia tahu sekali kalau sahabatnya itu mulai tertarik dengan seni tari. Bahkan Wicak sudah pernah tampil di depannya juga yang lain.

"Kau yakin Wicak bisa masuk disana?"

Dahi Ardan berkerut bingung,"kenapa nggak?"

"Dan,kau tau sendiri sekolah itu akreditasnya tinggi,seleksinya pun pasti sulit. Orang-orang seperti mu pasti akan dengan mudah masuk disana."

Ardan masih memperhatikan Heru.

"Jadi kamu mau bilang kalau Wicak nggak bisa masuk sekolah favorit? Tidak mendasar sekali ucapan mu,Her." Nada ucapan Ardan sedikit menaik,Heru tahu kalau temannya ini tidak terima dengan pernyataan tersiratnya.

"Kau tau sekali soal...nilainya Wicak. Dia bahkan nggak pernah masuk sepuluh besar." Heru ingat dia pernah membuka rapot nilai Wicak.

"Jalur masuknya pakai nilai Ujian Nasional kalau kau lupa,Her. Dan tolong,jangan rendahkan sahabat ku lagi. Kau bahkan nggak berhak menjadi temannya." Oh Tuhan,Ardan rasanya ingin sekali menjambak ketua kelasnya ini.

MAGIC √ [SUDAH TERBIT]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang