12

1.1K 346 14
                                    

"Ardan,kamu sudah paham?"

"Paham,Bu."

Bu Lani menghapus tulisan di papan tulis itu,bersiap untuk mengakhiri latihan soal ini.

"Siap berangkat esok?"

"Hehe siap dong,Bu." Ardan cengengesan aja,karena memang dia sangat-sangat siap untuk lomba ini.

"Yaudah cepat pulang,istirahat aja. Nggak usah belajar lagi,Ibu yakin kamu udah jago." puji guru matematikanya.

Ardan ngangguk aja,dia merapikan soal-soal di meja itu,beranjak untuk pulang.

Sekolah sudah lumayan sepi,hanya ada anak-anak ekstrakurikuler yang tersisa. Ardan bisa melihat ruang seni terbuka,anak seni sedang latihan mungkin pikirnya.

Tapi pikirannya tidak kesana dulu,tidak memikirkan soal Wicak sementara. Ada hal besar di depannya sekarang,yang harus dia singkirkan.

Dan tujuannya sekarang bukan rumah. Dia berdiri di tepi jalan raya,menunggu angkutan umum lewat dan menyetopnya. Bukan rumah tujuannya,tapi rumah sakit. Meminta restu dan doa kepada ayahnya sebelum berangkat berperang esok hari.

***

"Yah?"

Masih lenggang,bunda pasti sedang di toko kue nya dan kakaknya tentu di sekolah.Ardan mencoba masuk lebih dalam dan dia menemukan ayahnya. Terbaring lemah sekali,Ardan bahkan bersumpah rambut ayahnya sudah tandas semua tak bersisa. Di kanan kirinya banyak sekali alat penunjang kehidupan untuk ayahnya yang sama sekali tidak Ardan tahu fungsi jelasnya.

"Ya,Nak?" bahkan suaranya ikut bergetar dan matanya sayu sekali. Anak mana yang tahan melihat ayahnya seperti ini?

Ardan hampir saja menangis. Ia tahan mati-matian air mata yang sudah menggunung di pelupuk matanya. Tak mau ayahnya melihat dia sedih.

"Ayah,besok aku berangkat lomba." Ardan berhenti sejenak,mengatur napas agar tidak terdengar seperti orang menahan tangis.

"Ayah tau sekali kalau anak bungsu ayah itu jenius. Pasti akan menang. Iya,kan?" pelan sekali ayah bicara.

Ardan hanya mengangguk mantap. Ia bahkan berjanji akan bawa pulang medali juara satu lagi.

"Dan."

"Iya,Yah?"

"Adrian bilang kamu lagi ada masalah sama Wicak,iya?"

Ardan menunduk lesu,"i-iya,Yah."

Ayahnya tersenyum simpul meski terlihat sedikit dipaksa,"Ayah dulu punya sahabat baik. Melihat kalian jadi ingat masa muda ayah dulu bersama sahabat ayah."

Ardan hanya diam,menatap juga mendengarkan cerita ayahnya.

"Masalah akan selalu ada,Ardan. Akan ada waktunya kalian akan saling memaafkan." tuturnya pelan sekali,tapi Ardan senantiasa menunggu kalimat itu tuntas juga sambil mengusap lengan kurus ayahnya.

"Iya,Yah. Ardan juga yakin pasti butuh waktu untuk Wicak."

"Ardan."

"Ya?"

"Kamu ingin ayahnya Wicak bisa melihat lagi?"

Ardan sedikit bingung,tapi dia tetap mengangguk lemah.

"Iya,Yah. Meski sekarang dia sudah nggak diejek lagi,tapi pasti rasanya sedih. Pun ayahnya pasti ingin sekali melihat Wicak tumbuh,juga menari." Jelas Ardan. Ingatan nya berlabuh ke masa sekolah dasarnya dulu.

"Hmm begitu ya."

Ada jeda sebentar. Ardan masih mengusap lengan kurus ayahnya,pandangannya terus ke bawah. Jujur dia tidak mau ayahnya melihat dirinya sedih,dan dia juga tidak bisa menahan air mata yang sudah tertampung sejak masuk ruangan ini.

MAGIC √ [SUDAH TERBIT]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang