*sangat direkomendasikan memutar lagu diatas,jika habis maka putar ulang saja :) *
.
.
."Ardan,yakin sudah nggak ada yang ketinggalan?"
"Enggak,Yah. Yakin banget."
"Terakhir kali bepergian kan lo ninggalin dompet di kasur hotel,cek lagi gih!"
Ardan mendengus,ia nurut saja perintah Wicak daripada dia ngomel. Sedang ayahnya juga dibantu ayah Wicak masih sibuk memasukan koper-koper mereka ke dalam mobil.
Hari ini,setelah drama dan ketidak setujuan bundanya karena Ardan meminta untuk melanjutkan studi nya di tanah borneo,akhirnya berangkat juga.
Bukan karena Ardan merasa tidak enak berada satu rumah dengan ayah barunya selama setahun,tentu saja bukan. Ia hanya ingin merantau,menemukan diri sejatinya seperti apa dan pilihannya tertuju pada Kalimantan. Sebuah pulau yang memang tidak begitu padat penduduknya dibanding Jawa. Wicak juga ikut dengannya,padahal dia sudah menolak kalau saja Wicak mengikutinya hanya karena ingin menjaga dirinya.
Tapi Wicak tetap Wicak. Dia sudah berjanji,tidak lagi ia menjaga jarak barang sedikit dengan sahabatnya. Meski mereka berbeda program studi,Wicak tetap ingin bisa memantau Ardan. Sungguh dia tidak ingin mimpi buruknya terjadi lagi,sungguh tidak lagi.
"Ardan?"
"Ya,Bun?"
Bunda mendekat,memberikan dompet kulit miliknya.
"Lihat apa yang tertinggal di meja belajar mu?"
Ardan tertawa renyah sebentar,"hehe maaf,Bun."
"Belum berangkat saja udah ada yang nyaris ketinggalan." Kesal Wicak.
"Wicak,Ardan memang teledor sekali orangnya. Bunda tolong jagain dia juga barang-barang nya ya?"
"Bun,Ardan bisa sendiri."
"Iya,Bun. Tanpa diminta juga Wicak lakuin kok." Wicak mengeluarkan senyum secerah mentarinya. Mengeluarkan banyak sekali energi positif.
"Wicak,jaga dirimu juga Ardan ya." Oma menghamburkan peluknya ke cucu satu-satunya. Ini keputusan cukup sulit,rumah akan jauh lebih senyap tanpa sosok seriang Wicak. Tapi ini sudah keputusan cucunya,masa depan tetap haknya untuk memilih lalu dirinya bisa apa selain mendukung?
"Sudah siap semua nih?" tanya ayah Wicak. Yang lain hanya mengangguk,kecuali bunda juga oma. Mereka masih sulit melepas dua pangerannya.
"Bun,Ardan sudah besar sekarang. Bunda doakan Ardan terus ya,insyaAllah Ardan baik-baik saja." Ia nemeluk bundanya yang mulai terisak.
"Iya pasti. Tanpa kamu minta pun,bunda akan doakan kamu. Bunda tau kamu pintar,sayang. Jaga diri di sana ya?" Ardan hanya mengangguk mantap.
"Oma, jangan suka kecapean ya? Sering istirahat atau minta pijat ayah." Wicak menahan sekuat mungkin air matanya,ia tak suka salam perpisahan seperti ini.
"Iya,sayang. Jaga dirimu ya,juga rajin lah belajar. Kalau tidak paham minta ajarkan Ardan sampai kamu pintar,oke?" Wicak mengangguk,itu sudah jelas sekali.
"Wicak,jangan biarkan Ardan ke dapur ya?"
"Bunda!"
Wicak tertawa sebentar,"Iya,Bun. Nanti kosan nya malah terbakar."
Ardan cuma cemberut gemas,ia juga bisa masak. Masak air contohnya.
Mereka masuk ke dalam mobil. Hari ini kedua ayah itu lah yang ikut mengantar mereka ke bandara. Kalau oma dan bunda ikut,mereka bisa terlambat karena perpisahan yang amat lama.
"Kami pergi dulu,Assalamualaikum."
"Walaikumsalam."
Wicak dan Ardan melambai dari balik jendela mobil,hingga menghilang di sudut jalan.
"Yang sabar,Bun. Pangeran kita sudah sama-sama kuat. Mereka bisa menjaga masing-masing." oma berusaha menenangkan bunda.
"Iya,Oma. Sungguh mereka anak yang kuat."
Mereka,adalah dua penyihir kami
***
"Cak,ini masangnya gimana sih?"
"Astaga,serius lo nggak bisa?"
"Enggak. Ini rusak deh kayaknya."
Wicak turun tangan,memasang seat belt pesawat saja Ardan tidak bisa. Kemana otak jenius temannya ini?
"Hehe makasih bro."
Mereka diam cukup lama sampai pesawat itu lepas landas dan mengudara. Wicak asik mendengarkan musik lewat earphone nya.
"Cak."
Wicak melepas sebelah earphone nya,"paan?"
"Nggak kerasa kita udah mau kuliah." kalimat itu berakhir dengan tawa renyah Ardan.
"Iya sih. Hidup kita kebanyakan drama soalnya."
"Cak,makasih." Nada nya melemah,membuat Wicak bingung.
"Buat? Seat belt nya tadi?"
Ardan memutar bola matanya jengah,"ya bukan lah,dodol."
"Lah terus apaan?"
"Makasih udah mau temenan sama gue. Dari gue punya phobia sampe sekarang."
Wicak tersenyum,dia hanya mendengarkan tidak ada niatan untuk memotong kalimat sahabatnya itu.
"Gue nggak kebayang kalau waktu itu lo nggak buka pintu kamar gue,gue pasti udah mati kehabisan darah. Lo tau kan anemia gue."
Wicak mengangguk.
"Gue nggak kebayang kalo dulu lo nggak nginep di kamar gue abis ayah meninggal. Mungkin gue nggak akan tidur berhari-hari."
Wicak masih mengangguk.
"Cak,makasih. Untuk semua memori pas kita SD,dari lo nolongin gue pas kumat,jagain gue di UKS,manjat kebun kedondong sampai tangan gue berdarah pas ngupas,juga yang lain-lain."
Wicak ketawa kecil,memori itu kalau diingat lucu juga.
"Juga makasih. Karena lo yang negur gue saat kak Dana hilang di lapangan waktu itu. Terima kasih karena lo yang datang,bukan orang lain."
Wicak mengelap air matanya yang tanpa ijin keluar begitu saja.
"Makasih,Cak. Sudah mau jadi kakak gue."
Satu isakan nya lolos dari bibirnya,Ardan tertawa renyah.
"Jangan cengeng napa? Lo lebih tua tujuh bulan dari gue,lho."
Wicak mengelap wajahnya kasar,"bodo amat! Lo sampe kenapa-napa lagi,awas aja!"
Ardan cuma bisa tertawa,teman cerewetnya ini sungguh lucu sekali saat menangis. Apalagi kalau sampai sesenggukan.
"Gue juga makasih."
"Gue nggak ngelakuin apa-apa padahal."
Wicak menggeleng,"aksi heroik lo pas ngebela gue dari tukang bullying masih gue ingat jelas. Nggak akan gue lupa."
Ardan tertawa kecil.
"Juga buat medali nasional pertama lo. Akan gue simpan terus. Mungkin kalau gempa yang gue selamatin yaa medali itu."
Ardan tertawa,"ya jangan gitu lah,gila lo."
"Intinya makasih. Tetap ada meski yang lain pergi. Makasih sudah jadi adik gue yang bandel."
Ardan tersenyum simpul,"Iyain dah." Ardan memberikan tisu kepada Wicak.
"Makasih,penyihir."
"Lo juga,penyihir."
***
.TAMAT.
.
.
.Jangan lupa vote dan comment ya :)
Semua komentar bakal dibalas :)
KAMU SEDANG MEMBACA
MAGIC √ [SUDAH TERBIT]
Fanfic[Tersedia di Shopee] [ Namseok Local AU ] [COMPLETE] . . . "Kak." "Ya?" "Wicak itu penyihir ya?" Karena Ardan selalu berpikir bahwa semua penyihir akan memakai sebuah tongkat atau topi lancipnya, tetapi setelah melihat Wicak, rasanya dua benda itu t...