02

242 37 6
                                    

Yena mengusak handuk ke rambutnya yang masih basah. Ia memang tadi sempat terjebak selama hampir satu jam di krematorium. Tapi setidaknya ia berhasil sampai di rumah sekarang, meski ia harus berlari dari halte bus menuju rumahnya. Benar-benar, mengapa bisa-bisanya ia memutuskan untuk tidak membawa mobil hari ini?

Baiklah, penyesalan itu sudah berlalu. Yang penting ia sudah tiba di rumah sekarang. Gadis manis itu melirik ke arah jam, belum terlalu larut untuk minum alkohol. Ia mendengus, entah mengapa ia mendadak selalu ingin minum alkohol akhir-akhir ini. Yena akhirnya keluar dari kamarnya, melangkahkan kaki menuju lantai dua.

Ia tinggal sendiri, dan rumah ini terbilang terlalu luas untuk dirinya yang tinggal sendiri. Bahkan, terdapat dua lantai. Meski hanya ada satu kamar di atas, tapi tetap saja terlalu berlebihan. Belum lagi dengan dua kamar di lantai bawah, dengan total tiga kamar untuk dirinya sendiri. Ia buka pintu kamar itu dengan perlahan, masuk ke dalam ruangan yang gelap dan penuh dengan foto-fotonya bersama Yohan.

"Aku pulang Yohan."

Ia melangkah menuju tengah-tengah kamar tersebut, mendekat ke arah peti mati yang dibiarkan terbuka di sana. Ia mengulas senyum tipis saat melihat sosok yang sedang terbujur kaku di dalamnya.

Iya benar, itu Kim Yohan.

Yena dengan segala obsesinya untuk terus bersama Yohan, ia nekat menyimpan mayat Yohan untuk tetap bersamanya di sini hingga berhasil dengan ritual necromancy nanti. Tentu saja guci yang ada di krematorium itu tidak ada abunya sama sekali. Hal itu hanya di lakukan untuk sebuah formalitas, jika sewaktu-waktu ada yang ingin berkunjung.

Jasad Kim Yohan yang asli ada di sini, bersamanya. Tentu saja jasadnya tidak boleh dikremasi, karena akan dilakukan ritual necromancy.

Yena bahkan membawa penata rias untuk Yohan, ia dirias agar tetap terlihat segar. Dan sudah tiga bulan sejak kematiannya, beruntung Yena memakaikan pengawet, meski hanya akan bertahan sebentar. Maka dari itu, ia harus segara melakukan ritual tersebut.

"Tunggu sebentar lagi ya Yohan, kita akan kembali bersama."

Yena mengusap lembut pipi Yohan, ia kembali terisak saat menyentuh kulit Yohan. Biasanya ia akan selalu merasakan kehangatan pada setiap inci tubuh Yohan, ini bukan Yohan yang ia kenal. Ia buru-buru mengusap air matanya, lalu beralih tersenyum untuk menguatkan dirinya sendiri.

Ia tidak boleh menangis, ia harus kuat. Karena, Yena pasti akan membawa Yohan kembali. Meski sulit, tapi Yena harus berhasil. Benar, tidak boleh ada kegagalan dalam ritualnya nanti.

Yena bangkit, kembali mengulas senyuman pada Yohan sebelum dirinya melangkah keluar dari kamar tersebut. Ia bersandar diluar pintu, entah mengapa semakin hari tanpa Yohan, hatinya semakin terasa sesak. Ia benar-benar merindukan Yohan. Langkah kakinya bahkan gontai saat menuruni tangga tersebut. Tapi sekali lagi, Yena harus kuat.

Lupakan semua itu, Yena harus fokus dengan masalah ritualnya. Bukan dengan perasaan rindunya terhadap Yohan, ia harus segera melakukan ritual tersebut agar rasa rindunya pada Yohan terobati. Yena memposisikan dirinya di bean bag yang ada di kamarnya, bean bag tersebut menghadap ke jendela. Bean bag yang selalu menjadi tempat favoritenya untuk bersantai. Biasanya Yohan akan menemaniㅡ

PLAK.

Yena menampar pipinya sendiri, fokus Choi Yena.

Jari-jari lentik itu akhirnya bergerak membuka lembaran buku, melanjutkan pemahamannya tentang necromancy. Ia begitu fokus, hingga menyadari kalau cahaya bulan malam ini sangat terang. Yena mendongak ke arah bulan yang terlihat begitu jelas di jendelanya, ah ternyata bulan purnama.

"Bulannya indah sekali Yohan..."

Yena mendadak merinding, perasaannya seketika tidak tenang. Tengkuknya sendiri meremang tanpa sebab. Aneh, Choi Yena bukanlah seseorang yang mudah takut. Namun entah mengapa malam ini terasa aneh, apa efek dari bulan purnama?

Yena lantas bangkit, ia segera menutup tirai jendela kamarnya. Biasanya ia tidak takut saat sendiri. Tetapi, malam ini terasa begitu aneh, ia bahkan merasa sedang diawasi. Padahal, jelas tidak ada siapa-siapa di sini.

Menyampingkan semua perasaan aneh yang masih melingkupinya, gadis itu memilih untuk lanjut membaca buku di ranjang. Sedemikian rupa menyamankan posisi duduknya, Yena kembali membaca buku tersebut, tapi sedetik kemudian di kembali menoleh ke arah jendela yang sudah tertutupi tirai.

Hanya perasaanku saja, kan?

Yena tidak pernah sesensitif ini sebelumnya, ia benar-benar merasa kalau ada seseorang yang mengawasinya. Tapi jelas ia tidak bisa melihat sosok itu, atau mungkin benar hanya perasaannya saja?

'Tidurlah, sudah malam.'

Gadis Choi itu menoleh kanan dan kiri dengan horror, yang benar saja? Bagaimana bisa suara itu terdengar langsung ke pikirannya. Yena menggelengkan kepalanya, mungkin hanya sugesti dari tubuhnya yang sudah lelah. Karena demi apapun, sangat konyol jika ia mendadak bisa melakukan telepati. Terlebih lagi, ia tidak mengenal suara tadi yang terdengar langsung di pikirannyaㅡbukan telinganya.

Baiklah, daripada mendapati hal-hal lain yang lebih aneh, Yena memilih untuk menurut dengan suara yang ada di otaknya tadi. Ia meletakkan buku di nakas dan merebahkan dirinya, Yena hanya berharap kalau hari esok akan menjadi hari yang menyenangkan.

Sementara Choi Yena sudah terlelap dalam tidurnya, sosok di luar rumahnya tersenyum puas lalu menghilang begitu saja bersama angin.

***

Yena tidak tau kenapa tungkainya membawa dirinya ke rooftop kampus. Ini pertama kalinya Yena pergi ke sini, setelah hampir tiga tahun menuntut ilmu di sini.

Choi Yena memang tipikal anak yang tak perduli dengan sekitar. Tapi, setidaknya ia masih bisa berbaur. Ada beberapa temannya yang menemaninya saat insiden Yohan, dan Yena bersyukur akan hal tersebut. Namun, tidak ada yang tau soal rencananya untuk kembali menghidupkan Yohan.

Yena membuka pintu di hadapannya, lalu masuk ke area rooftop. Ternyata cukup luas juga, ia melangkah masuk dan memandangi sekitar. Tapi, entah mengapa ia kembali merasakan sensasi yang sama seperti semalam. Tengkuknya kembali meremang.

"Oh, apa kedatanganku mengganggumu? Hei, tunggu kau orang yang kutabrak di perpustakaan kemarin." Yena terkejut saat mendapati seseorang yang tak asing sedang duduk bersandar di sana.

Gadis itu diam saja, membuat Yena jengkel. Belum lagi tatapan tajamnya yang seakan memindai tubuh Yena dari ujung kepalanya hingga ujung kaki, tapi masih tidak mengucapkan apapun sampai gadis itu menganggukkan kepala.

"Kenapa dia diam saja sih." keluh Yena.

"Tidak apa, kau bisa duduk di sini juga." untuk pertama kalinya, Yena mendengar suara pemuda itu.

Si manis mengangguk, ia akhirnya juga mengambil posisi duduk bersandarㅡcukup dekat dengan pemuda itu. Ternyata, Yena menyadari kalau sosok di sampingnya itu memerhatikan buku yang sedang ia baca.

"Kenapa? apa kau menganggapku aneh karena membaca hal seperti ini?"

Pertanyaan sinis yang ia lontarkan terbalas dengan seringai yang menyebalkanㅡmenurut Yena. Namun sayang sekali, pemuda itu terlalu tampan untuk ia tampar.

"Tidak, karena aku juga banyak mengalami hal-hal seperti itu."

Ucapan yang menggantung itu membuat Yena mengernyit heran. Jangan bilang kalau orang di sebelahnya ini pernah melakukan necromancy?


ㅡtbc.


Chapter 2 up~

NECROMANCY (JB x YENA)✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang