Hari selasa kiranya. Saya membuntuti Angkasa seperti biasa. Tak seperti pada umumnya, yang langkah kaki pasti akan membawanya menuju tempat dimana buku-buku berada. Namun, makhluk itu kini keluar dari gerbang sekolah. Saya sengaja menetap di pos satpam sembari bercerita pada Pak Mamat mengenai kisah Kucing Raja dan Tikus Kampung sambil sesekali menatap apa yang sedang laki-laki itu (Balok Es) bicarakan dengan wanita paruh baya di dekatnya.
Hanya sesaat, dialog yang mereka ciptakan usai. Jelas sekali tergambar aura negatif di wajah Balok Es. Rasanya saya familiar dengan perasaan ini. Ya, kesedihan dan kekecewaan. Angkasa - dia sedang tidak baik-baik saja.
"Sa, kamu tahu? Beberapa kali manusia ditakdirkan untuk tak sengaja bertemu luka. Semua itu tentu saja agar kita menjadi manusia yang lebih dewasa." Kataku menghiburnya.
"Kamu tahu tidak apa yang tadi kuceritakan pada Pak Mamat? Yap, aku tadi bercerita mengenai Kucing Raja dan Tikus Kampung yang akhirnya bisa bersama meski Si Kucing harus melepas gelar kerajaannya dan menjadi kucing Kampung yang tengil dan jarang mandi xixixi." Imbuhku
Angkasa Tersenyum
"Astagaa, kamu tersenyum!!!"
Saya senang bisa menyaksikan manusia dingin itu menjadi hangat. Senyumnya berhasil memecahkan semesta saya. Rasa tidak karuan berhasil meracuni pikiran. Harap-harap gerbang yang selama ini tertutup sudah sedikit terbuka. Dan saya dapat sedikit memasukinya.
Sebenarnya itu tadi adalah sepenggal cerita. Kisah itu belum berakhir, Sa. Kamu tahu? Tak berapa lama tikus itu terpeleset dan masuk ke dalam panci penggorengan. Jujur, saya menangis. Kenapa ia masuk ruang itu dan menjadi tikus goreng? T _ T
Kenapa tidak menjadi sup atau semacamnya? Saya sebal, saya benci dengan akhir cerita itu.