Pulang bersama Angkasa? Ah, biasa saja [Angkuh mode on]. Tidak, bukan seperti itu. Yang benar, setiap detik bersamanya selalu terasa memanipulasi jiwa. Ah, tidak dapat didefinisikan. Teramat rumit dan membuat senang. Jika tanah bisa mendengar, saya yakin cacing-cacing akan keluar kepanasan. Menunjukkan tubuh licin nan panjang yang jumlahnya tak karuan. Ya, sebab merasakan panasnya kebahagiaan yang saya rasakan (sendirian).
Bagaimana denganmu, Sa? Apa sama? Atau punya definisi berbeda? Nyatanya makhluk ini terlampau anteng untuk diajak memperbincangkan masa depan. Mungkin, memang saya dihadirkan oleh Tuhan. Supaya dia tidak terlalu kaku dengan kehidupan.
Makhluk ini terlampau serius. Saking seriusnya, bahkan keberadaan saya tak tercium baunya. Menyebalkan ya.
Saya memandanginya sembari menyisiri jalanan kota. Tak ada yang berbeda, pun sama. Wajahnya masih putih pucat seperti tokoh-tokoh dalam serial vampir. Tangannya masih panjang seperti galah rambutan belakang rumah. Hidungnya tetap lebih panjang beberapa cm dari punya saya. Hanya saja, sampai sekarang riset yang dilakukan belum mampu menemukan siapa penghuni sukma yang sebenarnya.
"Pakai!"
Di perjalanan terakhir, tangan itu berusaha menggapai pundak saya. Meyandangkan kain hangat berwana abu tua. Saya terdiam cukup lama.
"Biasa aja. Semua orang juga punya!"
Kalimat itu memecah kediaman diantara kedinginan. Hal-hal yang seharusnya manis, menjadi canggung kemudian. Dia merusak segalanya, sepenuhnya!!!!
Yang benar saja, ini adalah jaket angkatan. Satu sekolah juga punya. Bapak/Ibu guru pun sepertinya. Ah, Angkasa! Mati saja kau ya!