Entah sudah berapa lama sejak pesanmu meniada begitu saja, Sa. Malam ini akan benar-benar abadi sebagai sejarah. Akan saya abadikan dalam tulisan diatas sticky notes mini disudut kamar. Akan saya lumuri bunga-bunga mati yang estetik pada jamannya. Akan saya pandangi setiap menjelang tidur di kala sepi.
Jelas-jelas itu suara telepon pintar diatas meja. Tak biasanya ada pesan yang memaksa masuk kecuali grup-grup kecil yang merajalela.
"Ada apa?" Katamu mengkhawatirkanku (tidak, ini hanya persepsi saja)
Saya menceritakan seluruh kekhawatiran yang sedang menerpa. Kamu mendengarnya. Bahkan berkali-kali menawarkan solusinya. Kamu adalah penangkal, Sa. Tak ada ramuan paling mujarab di dunia selain kehadiranmu. Tak ada obat paling menyembuhkan selain pelukmu.
Saya rindu, Sa. Teramat rindu. Saking rindunya saya bisa mati jika tak melihatmu sehari. Saya bisa membeku jika kamu terlalu lama disitu. Keluarlah, dan mari bertemu. Berbincang lagi seperti dulu. Membicarakan warna jingga yang tak utuh. Tertawa bersama berbagi keluh.
"Nggak papa. Kan ada aku."
Kalimat terakhir yang menyejukkan dan beribu kali menenangkan. Diam-diam saya senang. Masalah saya perlahan hilang. Ternyata berbagi kisa pilu tak selalu memilukan. Saya merasa ringan karena tak memikul sendirian.
Terimakasih, Sa. Untuk malam ini. Terimakasih untuk tidak lari (lagi).