Halo,
Sudah lama ya kita tidak bersua. Saya dan kamu sama-sama saling tunggu tapi tak kunjung menemukan titik temu. Tidak, ini menurutku. Sibuk-sibukmu bukanlah sibuk yang sebenar-benarnya. Kangen-kangenku lah yang membuat saya jadi bangsat dan memaksa sebuah cakap. Itu tidak adil. Untuk saya yang dilanda rindu hanya karena balasanmu. Harusnya kamu ikut serta. Jadi salah satu penerima luka karena tak dibalas rasanya. Seperti itu kiranya yang sedang dirasa. Hari rabu pukul sembilan belas lewat dua.
Hanya ingin memperpanjang percakapan. Itu yang saya inginkan di hari tanpa tuan. Menyusun kembali beberapa puzzle yang memaksa diselesaikan. Untuk sekadar melihat seberapa eloknya jika mereka menjadi satu kesatuan yang sama. Itu saja.
Bertemu, memperkenalkan diri, saling melempar cerita, dan kemudian menjadi satu pasang manusia paling bahagia di dunia sudah pernah kita tamatkan sebelumnya. Bertengkar, memaafkan, bertengkar lagi, memaafkan lagi, hingga akhirnya merasa lelah dan memutuskan pergi juga sudah kita lewati. Agaknya dulu saya pernah jadi manusia terbangsat se-alam raya. Kamu pun. Di kisah yang sama. Dalam sudut pandang yang berbeda.
Saya pikir segala salah yang tak bisa diubah dapat membuatmu hilang dalam jejak pikiran. Nyatanya semakin saya mencari-cari kesalahan semakin kebaikan-kebaikan itu muncul. Semakin bahagia-bahagia itu berkumpul. Semakin namamu menetap dan mengepul. Seperti asap-asap hasil kebakaran rumah susun yang pernah kita lewati di hari ulang tahun sekolah kala itu
Haha, lucu ya. Saya yang pergi, tapi saya juga yang memaksa kembali. Sehari setelah resmi untuk tidak mengikat satu sama lain, kita memilih menjadi dua asing dan menjadi masing-masing. Itu pilihan, bukan yang sebenarnya diinginkan. Kataku lantang.
Kamu hilang. Sampai sekarang.
