2.6, waiting for the ending

58 2 2
                                    

Langkah kaki laki-laki itu membuat gemuruh di sepanjang lorong, membuat orang yang melihatnya kebingungan. Para suster hanya bisa melihat tanpa menanyakan kenapa,karena langkah Arga yang berlalu begitu cepat. Rambutnya yang berantakan berpadu padan dengan kemeja putih lecek yang ia linting seperempat lengan.

langkah kaki Arga berhenti ketika melihat beberapa suster, Angga, Mahendra dan seorang perempuan di samping Mahendra. Tangisnya makin deras. . Mahendra berusaha menenangkan Arga. tangannya pelan-pelan berusaha menyentuh pundak Arga tapi  Arga malah menangkisnya. Tangisnya makin menjadi-jadi ketika  mereka mendorong dorongan yang atasnya ada jasad yang sudah tertutup oleh kain putih. Arga langsung menghampiri mereka.
Pelan-pelan ia buka kain yang menutupi wajah di baliknya, "Ma..." tenggorokannya tercekat, Kalah lancar dengan air matanya yang terus mengalir cepat. Arga memeluk leandra erat.  Terlihat bibir Leandra sudah pucat pasi tapi kecantikanya tetap terpancar dari wajahnya. "Ma...Arga sayang mama...." Ucapnya lirih di samping telinga Leandra.

Angga menenangkan Arga merangkul sahabat sedarahnya. Tangis Remaja laki-laki itu tidak kian mereda Angga pun berusaha melepaskan pelukan Arga kepada leandra, dan suster pun bisa membawa jasad leandra ke tahap selanjutnya.
Arga berusaha agar air matanya itu tidak keluar deras, tapi nyatanya lagi-lagi butiran bening itu lolos mengenai pipinya, "tenang, ga...sabar....kita semua kehilangan," Ucap Angga berusaha menenangkan Arga walau matanya sendiri sudah basah lebih dulu

Sementara itu, Fey dan amarahnya :

Fey langsung membanting tubuhnya dengan kasar ke atas kasur. Air matanya tidak terasa mulai mengucur membasahi dress maroonnya yang belum ia ganti. Lastri sudah terlelap sedangkan Rudy belum pulang dari kerjanya. Mereka tidak tahu bahwa anak tunggalnya sedang menangis, Bukan lagi perihal meminta mainan yang dilihatnya di pinggir jalan, bukan lagi tentang permen kapas yang dilarang oleh lastri yang katanya bikin sakit kerongkongan. Tapi ini lebih ribet dari itu. bukan lagi perihal boleh atau jangan dan iya atau tidak. "drttt...drttt...drttt...," handphone di dalam tas berbunyi, fey langsung berjalan mengambil handphone di dalam slingbagnya. Nama Arga tertera di layar. Air mata Fey makin mengalir. Dirinya kesal dan lelah, handphonennya berbunyi berkali-kali dan sebanyak itu pula Fey berusaha mengangkat tapi ia urungkan niatnya, dirinya ia tatap di cermin. Matanya sudah sembab walau baru sebentar menangis. Rambutnya berantakan tidak karuan. Tangan kecilnya sesekali ia kepal sekuat tenaga—Berusaha meluapkan emosi dan berpikir bahwa hal itu dapat membuat dirinya sedikit lebih tenang, Walau handphone masih berdiring dengan nama Arga tertera di layar.

---

Sudah hampir tujuh menit kakinya mundar-mandir. handphone genggamnya di tempelkan di telinga tapi tidak ada obrolan  yang di mulai. Beberapa saat Arga berusaha agar emosinya tidak beraksi di luar kendalinya, kesedihan yang ia rasakan masih terasa walau air matanya untungnya sudah mulai mengering,  sekarang, detik ini juga Arga butuh Feyza. Merengkuh topeng kuatnya yang telah luruh, "argh! angkat...please...."dahinya yang pening sesekali ia pijat. Badannya ia senderkan dengan kasar ke tembok. Handphonenya lagi-lagi ia tengok, sebuah nama yang menjadi panggilan terakhir di handphonenya ia tekan kembali. Berharap gadis di seberang sana mengangkatnya. Tapi, nihil.

keesokan harinya, duka cita memenuhi area pemakaman. Orang-orang berpakaian serba hitam berdatangan kian banyak setiap menitnya. Tangisan serentak memenuhi pemakaman ketika jasad Leandra di masukan ke dalam tanah. Avian dan sahabat Arga lainnya berdatangan  menemani keterpurukan Arga, "Sabar ya, Ga" Ucap Avian sembari merangkul sobat di sampingnya, "Makasih."

Setelah pemakaman selesai Arga membuka handphonenya berharap nama Feyza tertera di sana. Kepalanya celingak-celinguk mencari keberadaan gadis itu. Berharap Feyza mengetahui berita duka ini dan merangkulnya. Sebuah janji saja bisa diingkari, apalagi ini hal yang belum terencanakan sebelumnya. Apa panggilan telponnya tadi malam yang berkali-kali tidak cukup sebagai tanda bahwa Arga benar-benar membutuhkan Fey?. Avian yang memperhatikan Arga dan menghampirinya.
Bisa-bisanya ada perempuan yang membuat cowok itu benar-benar menyukainya, "bro," sapa Avian menepuk pundak Arga, Arga berusaha membentuk wajah 'biasa' nya, "hm? kenapa?" jawab Arga. Gelagat Arga yang seperti menunggu seseorang membuat Avian merasa miris dan iba kepada sobatnya itu. "Ga, makan dulu yuk, mama gua bawa masakan tuh." Avian pun merangkul Arga dan membawa pergi Arga dari kekhawatirannya.

---

Keesokan harinya berjalan seperti biasa. Feyza sudah mewanti-wanti dirinya terlebih dahulu agar tidak memulai obrolan dan bertemu Arga. Sedangkan Arga? dia memilih untuk berdiam diri di rumah terlebih dahulu. Pikiran dan raganya butuh beristirahat untuk sementara waktu di dalam rumah yang dulu tempat keluarganya lengkap berkumpul.

Feyza masih berkutat dengan novel yang ada di depan matanya. Matanya bergerak mengikuti setiap kata yang di bacanya. Pikirannya sebenarnya bingung. Biasanya Arga menjemput ketika mau berangkat sekolah jika ada hal lain yang lebih penting Arga juga suka menunggu di dekat gerbang sekolah. Tapi, yasudahlah. Gadis itu tidak mau memusatkan pikirannya terhadap Arga, Arga dan Arga. "Dor!" teriak Wulan dari arah belakang. Fey terperanjat. "ih! kebiasaan deh lo!" Ucap Fey sedikit ngegas. "Kantin yuuuk!" ajak Wulan. Feyza yang ingat peringatan tadi pagi yang ia buat, tentang tidak mau bertemu dan mengobrol dengan Arga pun menolak mantap. "Nggak. Gue lagi lanjutin baca cerita yang kemarin." Beberapa detik kemudian muka Wulan memurung, "yaaah, yaudah deh. Gue gak maksa."

Feyza melamun. Sebenarnya, sepenggal rasa penasaran bersarang di hatinya, "kenapa dengan Arga?" "bagaimana keadaannya?

"Panggilan kepada para anggota Ekskul basket SMA Angkasa diharapkan berkumpul di lapang sekarang."

"sekali lagi,Panggilan kepada para anggota Ekskul basket SMA Angkasa diharapkan berkumpul di lapang sekarang"

Para anggota basket pun langsung menuju lapangan, termasuk Ramzi.

Semua siswa belajar seperti biasa. Fey dan Wulan agak penasaran sebenarnya, sebegitu lamanya kah acara basket itu? sampai jam pelajaran terakhir Ramzi belum menampakkan batang hidungnya.

update as soon as possible

ABOUT A [ MOSTWANTED]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang