Aku Ikhlas

684 38 1
                                    

By : Phiar_

***

Namaku Lala. Saat aku resmi menjadi istri dari seorang Rama Narendra, aku merasa menjadi wanita yang paling bahagia. Meski pernikahan ini berawal dari perjodohan, tapi aku tetap merasa bahagia. Terlebih saat melihat wajah penuh haru kedua orang tuaku dan mertuaku, rasa bahagia terasa membuncah.

Pendekatan kami hanya berjalan selama empat bulan--setelah acara lamaran kedua keluarga besar berlangsung. Mas Rama sosok yang sangat baik dan ramah, selama ini dia berhasil membuatku merasa nyaman berada di sampingnya. Meski aku belum tahu apakah Mas Rama sudah memiliki rasa untukku atau belum, yang jelas, aku sudah mulai sayang padanya. Dan mulai hari ini, aku akan memberikan semua baktiku padanya sebagai seorang istri.

Kami baru saja tiba di rumah Mas Rama, ini rumah pribadinya. Sejak menjadi pimpinan di perusahaan Papanya, Mas Rama memilih tinggal sendiri. Katanya, dia ingin menjadi pribadi yang mandiri. Rumah ini bisa dikategorikan mewah dengan dua lantai. Terasa sangat asri dan nyaman untuk ditinggali.

"Kamar kita ada di lantai dua, kamu duluan saja. Biar aku yang bawa kopernya," kata Mas Rama saat kami masih berada di halaman rumah.

Dengan baju kebaya yang masih aku kenakan, aku mengangguk patuh, "iya, Mas. Aku masuk duluan, ya?" kataku. Mas Rama mengangguk kecil, membiarkanku masuk sedangkan dia mulai mengeluarkan beberapa koperku dari bagasi mobilnya.

Saat malam menjelang, aku harap-harap cemas. Bagaimanapun, ini akan menjadi malam pertamaku sebagai seorang istri. Jantungku semakin berpacu saat mendengar suara pintu kamar mandi terbuka, diikuti Mas Rama yang keluar dalam balutan piyama tidurnya. Wajahnya terlihat sangat segar.

"Kamu belum tidur?"

"Aku nunggu, Mas."

Aku melihat ada sedikit perubahan di wajah Mas Rama, aku tidak tahu apa artinya. Mas Rama berjalan mendekat ke arahku, dia memilih duduk di samping ranjang--tepat di depanku.

"Ada satu hal yang ingin aku sampaikan padamu," katanya, sorot matanya terlihat sangat redup. Seperti perasaan yang dipenuhi rasa bersalah.

"Apa, Mas?" entah mengapa perasaan was-wasku tadi berubah menjadi rasa takut.

Mas Rama sedikit menunduk sebelum dia kembali menatapku. "Sebenarnya pernikahan ini adalah syarat supaya aku bisa menjadi pewaris tunggal perusahaan Papa. Aku tidak ingin kehilangan apa yang aku inginkan selama ini, jadi aku terpaksa menikahimu."

Hatiku rasanya hancur saat mendengar penjelasan Mas Rama barusan. Hayalanku untuk bisa membangun keluarga yang bahagia, langsung runtuh saat itu juga. Jadi, kedekatan kami selama ini hanya untuk ajang mendapatkan warisan?

"Sebenarnya aku tidak ingin seperti ini, tapi aku terpaksa harus melakakukannya."

"Jadi, aku hanya menjadi korban keegoisan kamu, Mas?"

"Maaf, aku tidak bermaksud mempermainkanmu."

"Kenapa kamu jahat sekali, Mas? Jadi kedekatan kita selama ini hanya permainanmu saja? Dan pernikahan ini hanya kamu anggap lelucon? Kenapa dari awal kamu tidak jujur, Mas, kenapa?!"

Pertahananku runtuk saat itu juga. Malam pertama yang seharusnya dilewati dengan bahagia, menjadikanku wanita yang sesungguhnya, malah berakhir menjadi hujan air mata. Apalagi yang bisa aku lakukan selain menangis? Nasi sudah menjadi bubur, aku tidak mungkin mengembalikan semuanya seperti semua.

Mas Rama hanya mengucapkan kata maaf berulangkali. Aku bahkan menolak kebaikannya yang ingin menenangkanku dalam pelukannya. Semuanya percuma. Kebaikannya hanya kamuflase untuk menutupi keegoisannya.

AFFAIRTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang