Written by ohputrianandass
Amora Pavilia, sebuah nama yang sering dielukan oleh nyaris seluruh kaum adam se-Indonesia raya. Bukan sebuah perandaian yang hiperbola, namun harus kuakui pamorku sebagai salah satu selebritis negeri ini memang semengerikan itu. Aku memiliki pengikut nyaris 30 juta di Instagram, subscriber Youtube menembus angka 10 juta dan jejeran project iklan hingga film yang tak pernah selesai kulakoni.
Well, kata orang-orang sih aku bisa seberhasil itu karena tampangku yang di atas rata-rata. Juga, karena mereka sering menyebutku sebagai dewi berhati malaikat hanya karena kebiasaanku yang sering membagikan sedikit bantuan untuk orang-orang yang membutuhkan karena memang, demi konten semata. Mereka melihatku sebagai pribadi bersahaja, lembut, classy, dan ramah. Sehingga tak ayal aku pun disebut-sebut sebagai calon isteri idaman.
Sampai suatu ketika aku memutuskan untuk memulai bahtera rumah tangga. Aku menikahi seorang pengusaha sukses berusia 30 tahun, selisih empat tahun lebih tua dariku. Dan kabar soal pernikahanku tersebut pun menggemparkan seantero ibu pertiwi. Bahkan hashtag “hari patah hati nasional” pun disematkan di tanggal hari bahagiaku tersebut. Sungguh, sebuah hal yang tak pernah kuekspektasikan sebelumnya.
Maka, semenjak berstatus sebagai Nyonya Trisnawan. Perlahan-lahan pamorku mulai redup seiring dengan kesepakatanku dan suami yang memang mengingini aku fokus menjadi ibu rumah tangga saja. Aku sudah jarang bermain media sosial. Mengisi konten Youtube pun kulakukan paling santer satu bulan sekali. Benar-benar, keseharianku hanya diisi di rumah saja. Melayani suamiku yang senantiasa pergi pagi dan pulang petang hari.
Johnny Trisnawan, dia suamiku. Sosok sedikit bicara yang sangat mengayomi. Aku dan Johnny telah mengarungi biduk rumah tangga selama dua tahun dan sampai detik ini kami belum dikaruniai anak. Tidak mengapa, kupikir kami bisa lebih meluangkan waktu untuk berdua dulu mengingat masa pacaran kami bahkan berlangsung tak lebih dari dua bulan. Akan tetapi, itu tidak pernah terjadi. Tak ada yang menduga bahwa di balik keharmonisan yang sering tersaji di mata publik, nyatanya aku dan Johnny tak menjalani kehidupan sebagai pasangan suami isteri yang bahagia.
Aku tidak mengatakan bahwa Johnny adalah lelaki brengsek yang ringan tangan apalagi doyan bermain perempuan. Tidak sama sekali. Sudah kukatakan Johnny hanya pribadi tak banyak bicara namun dia sangat lah menyayangiku. Hanya saja, sikapnya yang terlalu positif itu justru menjadi masalah. Johnny tidak pernah menolak apapun yang kuminta. Dia selalu saja tersenyum bahkan ketika aku melakukan kesalahan. Dia akan memilih diam ketika moodku sedang kacau dan meluapkan semuanya padanya. Johnny… memang sesosok suami sempurna. Setidaknya, bukan untuk perempuan sepertiku.
Cup!
Aku melebarkan mata kala kurasakan sebuah kecupan singkat baru saja menyentuh bibirku. Dalam keadaan setengah telanjang, aku menoleh pada satu sosok kekar yang tidur menyamping, memelukiku dari belakang.
“Sudah bangun?” tanya suara berat itu yang langsung kutanggapi dengan sebuah anggukan pelan. Agaknya, tubuhku masih sedikit pegal-pegal. Pergumulan panas kami tadi malam cukup melelahkan. Aku bahkan belum memiliki daya untuk segera bangkit dari kasur.
“Kamu gak ke kantor hari ini?” tanyaku seraya membalikkan tubuh, menghadapnya. Sementara lelaki tampan berambut sedikit panjang itu hanya menyunggingkan seulas senyum tipis. Senyum yang akhir-akhir ini senantiasa membuatku mabuk.
Jika kalian berpikir dia adalah Johnny, maka kalian salah. Laki-laki bertelanjang dada yang sedang kupeluki ini adalah Mark. Blasteran Indonesia-Amerika yang selama setengah tahun ini menjadi partner sexku. Kami menjalani hubungan terlarang ini atas dasar cinta, walau sebenarnya aku sendiri tak bisa memastikan apakah aku benar-benar mencintainya.
“Kalau begitu tidur saja lagi, nanti jam sepuluh aku akan membangunkanmu dan mengantarmu. Suamimu pulang dari perjanalan bisnisnya hari ini kan?”
Aku mengangguk, lalu kurapatkan tubuhku padanya dan mulai memejamkan mata lagi.
****
Sesuai janji, Johnny sampai di rumah pukul dua siang. Aku yang sudah menunggunya di ruang tengah langsung menyusul ke teras depan begitu suara mesin mobilnya dapat kudengar. Seperti biasa, Johnny langsung mengecup keningku sebentar sebelum akhirnya kami bersama-sama masuk ke dalam rumah.
Begitu sampai di dalam, Johnny langsung duduk di sofa. Ia terlihat cukup lelah tapi tak langsung mengganti pakaiannya. Aku sudah hapal sekali, ia lebih suka mengistirahatkan dirinya sebentar jika sepulang bekerja seperti ini. Lalu aku akan menyiapkan segelas cinnamon hangat untuknya sembari mulai merapikan beberapa barang-barangnya.
Mungkin, siapapun yang melihat kami sekarang pantas merasa iri. Pasti tidak sedikit yang berkesimpulan bahwa aku dan Johnny adalah pasangan romantis minim konflik. Tapi sebenarnya tidak. Justru hening yang terbangun di antara kami adalah sebuah masalah. Setidaknya untukku. Aku selalu merasa Johnny tak pernah mencintaiku. Dia memberiku segala yang kumau, menunjukkan afeksinya melebihi apapun, tapi… dari sorot matanya aku tak pernah melihat ia memandangku dengan tatapan yang selalu kuterima dari Mark. Seperti saat ini, ia kembali sibuk dengan gadget di tangannya. Tak melihat ke arahku yang telah berdandan sempurna untuk menyambutnya.
Mungkin memang, aku yang terlalu mencintainya sampai-sampai rasanya aku ingin melihatnya menderita dengan melakukan sebuah hubungan terlarang dengan rekan kerjanya sendiri. Aku dan Mark pertama kali bertemu ketika tanpa sengaja kami berpapasan di kantor suamiku. Tak ada yang spesial di pertemuan kami itu, namun sejak itu, kebetulan-kebetulan lainnya hadir seolah takdir menggiringku untuk berakhir melakukan satu dosa besar dengannya. Dosa yang semakin ke mari semakin membuatku merasa tercekik.
“Gimana perjalanan bisnisnya? Lancar?” Aku yang merasa bosan akhirnya buka suara.
Johnny yang mendengarku langsung meletakkan gelas cinnamon yang baru saja diminumnya ke atas meja, lalu ia menatapku. Mengabaikan tablet di tangannya yang telah berpindah ke atas sofa.
“Lancar. Syukurnya semua berjalan dengan baik,” jawabnya lalu tersenyum.
“Kamu gak capek? Gak mau istirahat dulu di kamar? Atau mau aku siapin makanan aja?”
Johnny menggeleng. “Gak usah, nanti kamu kecapekan. Aku udah makan kok tadi pas sampe bandara. Nanti, kita makan malam di luar aja.”
Sejujurnya, hal-hal seperti inilah yang membuatku merasa bahwa hubungan kami tidak benar-benar baik. Johnny yang terlalu baik, membuatku seolah menjadi satu sosok terluar baginya. Ia tak ingin aku terlibat terlalu banyak dalam rumah tangga kami. Ia tak mau aku mengerjakan banyak hal yang padahal menurutku, aku ingin melakukannya karena ingin membuatnya senang.
“Kamu gak mau aku masak karena gak ingin aku capek atau karena kamu gak suka apa yang aku masak?” tanyaku to the point.
Agaknya, pertanyaanku itu membuat dahi Johnny berkerut dalam.
“Kamu kok nanya gitu?”
“Ya habisnya kamu gak pernah senang kalau aku mau masakin kamu.”
“Gak gitu sayang, aku cuma gak mau-- Oke, kalau kamu memang pengen masak yaudah. Aku akan makan masakan kamu nanti.”
Selalu saja seperti itu. Johnny selalu menjadi sosok sangat baik yang semakin membuatku merasa kesal. Semua sikapnya tersebut pada akhirnya membuatku menjadi pihak yang paling berdosa di sini.
“Kenapa? Kamu kayanya kelihatan gak baik-baik aja. Ada apa?” tanya Johnny yang kini telah mengambil tempat di sebelahku. Ia menangkup wajahku untuk diamati secara lamat, sementara aku hanya memandangnya pias. Sungguh demi apapun aku tidak berniat mengkhianati laki-laki yang begitu baik ini, tapi di satu sisi, kenyataan tentang aku yang tak pernah bisa merasa menjangkau hatinya adalah apa yang menjadi pembenaran atas semua kesalahanku.
“Baiklah… Kalau kamu gak mau cerita, gak apa-apa asal kamu jangan seperti ini. Kamu baik-baik aja kan?”
“Kalau aku bilang gak baik, gimana?”
Kedua alis Johnny terangkat. “Gak baik gimana? Ada masalah?”
“Terlalu banyak masalah yang sayangnya aku gak bisa cerita sama kamu.”
“Kenapa? Aku suami kamu, kenapa kamu—”
“Kamu sendiri? Masalah apa yang pernah kamu bagi ke aku selama dua tahun kita menikah?”
Agaknya pertanyaanku tersebut bagai sebuah skak mat bagi Johnny. Laki-laki bersurai pekat itu kini terhenyak. Menatapku dengan bola mata kosongnya yang detik itu pula langsung kusadari, bahwa apa yang kukatakan barusan memang benar adanya. Aku tidak mengada-ada tentang bagaimana tertutupnya Johnny padaku. Ia tak pernah membahas soal kantor denganku. Tak pernah berkisah tentang teman atau sahabat dekatnya. Ia hanya membicarakan hal-hal tentang kami yang kesemuanya berpusat tentangku. Johnny selalu ingin mendengar ceritaku tapi tak pernah membagi miliknya.
“Maafin aku…”
“Kamu gak perlu minta maaf.”
“Tapi tetap aja itu salah aku. Maafin aku, Pav. Maaf…”
Aku memandang nanar Johnny yang kini tertunduk sesal. Tapi itu tetap saja tak mengenyahkan rasa kesal yang masih membumbung di benakku. Tidak tahu, apakah kebaikannya ini patut untuk membuatku marah. Atau mungkin aku sedang menipu diri bahwa sesungguhnya yang kubenci di sini bukan Johnny, melainkan diriku sendiri.
****
Seminggu sudah aku memikirkan tentang rencana mengakhiri hubunganku dengan Mark. Setelah hari itu, aku dan Johnny mulai terbuka. Aku mengatakan hal-hal yang membuatku merasa tidak nyaman berada di hubungan kami dan Johnny juga mulai menceritakan banyak hal tentang dirinya. Syukurlah, hal tersebut membuatku lebih tenang. Meski aku tak pernah mengatakan padanya tentang Mark, tapi setelah hari itu aku meneguhkan hati bahwa hubungan gelapku dan Mark harus disudahi. Aku tidak ingin mengkhianati Johnny lagi.
Aku dan Mark janji untuk bertemu di tempat biasa. Di apartemennya yang mana kini aku telah duduk di sofa ruang tamunya, menunggu lelaki jangkung tersebut datang. Memang, apartemen ini sudah seperti rumah keduaku. Aku memiliki kode akses untuk masuk meski Mark tidak ada di dalamnya.
Berselang, suara dering pintu yang diikuti debaman membuatku langsung sadar bahwa Mark telah tiba. Ada sedikit gentar yang mengaliri darahku, namun aku cepat-cepat mengenyahkannya. Terutama ketika Mark telah menarik pinggangku dan merengkuh tubuhku ke dalam pelukannya.
“I miss you so bad honey,” bisik Mark seraya memainkan anak rambut di dekat telingaku.
Aku tak membalasnya, hanya menyunggingkan sedikit senyum yang langsung membuatnya sadar bahwa ada sesuatu yang ingin kubicarakan dari sekedar bertemu biasa dengannya.
“Tell me, what’s wrong? Kamu mau bicarain sesuatu?” tanya Mark lembut.
“Mark… Aku…” Aku tidak tahu harus mengatakannya bagaimana.
“Ada apa eoh? Just say, aku akan dengerin kamu.”
Aku menatapnya lamat. Sejujurnya, meski aku tak pernah mencintai lelaki tampan ini. Namun, sejauh ini aku telah melewatkan banyak hal dengannya. Mark senantiasa memberikan apa yang tidak bisa sepenuhnya aku peroleh dari Johnny. Jadi, ada sedikit ketidakrelaan di dalam benakku sekarang.
“Kamu mau sesuatu? Apa itu? Bilang aja sama aku, gak usah ragu gitu.”
“Bukan itu Mark. Aku gak mau apapun dari kamu.”
“So?”
“Aku… Aku rasa kita udah gak bisa ngelanjutin ini.”
Hening sebentar. Mark seperti berusaha mencerna apa yang baru saja kukatakan. Namun tak berapa lama ia mulai paham. Wajahnya langsung berubah pias dan ada sebuah kepanikan di sana.
“what just you said? Tell me that you’re just kidding right now…”
Aku menggeleng kukuh. Ada sebuah kepedihan yang berusaha kutahan.
“Why? Kita udah jalanin ini selama ini dan sejauh ini baik-baik aja. Kenapa kamu tiba-tiba—”
“Tapi ini salah Mark. This was wrong from the beginning. Kita gak seharusnya kaya gini.”
“Lalu kenapa kamu baru sadar sekarang? Harusnya kamu gak pernah terlibat sama sekali sejak awal? Kenapa kamu membiarkan ini berjalan sejauh ini? Kenapa kamu baru mengatakan itu semua setelah aku begitu tergantung dengan hubungan ini?”
“Mark—”
“Gak bisa! Aku gak mau kita akhiri ini gitu aja.”
“Mark please…” Tak bisa lagi kutahan, air mataku mulai mengalir begitu saja. Aku tahu, Mark orang yang baik. Ia mungkin menjadi brengsek yang merebut isteri orang lain hanya karena ia jatuh cinta pada orang yang salah. Dan sialnya, aku justru memanfaatkannya. Tapi tetap saja, aku harus memilih sekarang dan aku memilih Johnny. Aku ingin memperbaiki rumah tangga kami dan memulai sebuah hubungan yang lebih baik. Tanpa ada khianat. Tanpa ada hal-hal yang disembunyikan.
“Pav look at me.” Secara tiba-tiba Mark menarik kedua bahuku, lalu menjajarkan wajahnya di depanku. Membuatku tak bisa menggeser tatapku dari sepasang netra legamnya. “Kita bisa jalanin ini terus. Aku gak masalah kalau pun selamanya jadi selingkuhan—”
“Mark please stop! Aku gak mau nyakitin kamu lebih dari ini!”
“Tapi yang kamu lakukan sekarang udah sangat nyakitin aku! It’s really hurt…”
“Mark…”
Mendapati kekukuhan di diriku, akhirnya Mark yang diam selama beberapa saat tak lagi bisa menyembunyikan emosinya. Tiba-tiba saja kulihat matanya berembun. Mark melepas rematan tangannya dari kedua bahuku lalu mengusak rambut dan wajahnya, frustasi.
“Oke, then… let me know, Pav.” Suara Mark terdengar serak, namun kini ia terlihat begitu menguatkan diri untuk kembali menatap pada dua bola mataku. “Just tell me, have you ever loved me?”
Pertanyaan Mark terdengar bagai sebuah petir di telingaku. Aku bungkam sesaat. Menundukkan wajah dengan kedua tangan yang kukepal erat-erat. Harusnya ini bukanlah pertanyaan yang sulit kujawab. Aku sudah tahu bahwa sejak awal hanya ada satu nama di dalam benakku dan nama itu pula yang menggiringku untuk menyudahi semua ini. Tapi melihat betapa hancurnya Mark sekarang, rasanya aku tidak sanggup mengungkapkan kebenarannya.
“Pav, please jawab aku. Aku akan…” Mark terlihat ragu. “Aku akan pikirkan tentang keputusanmu asal kamu jawab aku. Have you ever loved me?”
Mata berlinangku akhirnya kutumpukan lagi pada Mark. Aku telah membulatkan tekat. Mungkin ini terkesan kejam tapi aku harus melakukannya. Aku harus jujur sekarang juga agar Mark tidak lebih tersakiti.
“Never… I never loved you.”
****
Seusai menyudahi pertemuan emosionalku dan juga Mark, kuputuskan untuk pulang secepat mungkin. Tadinya, aku telah mengirim pesan pada Johnny bahwa aku akan pulang malam. Memang, aku sempat berniat untuk tidak langsung pulang ke rumah seusai menemui Mark karena aku mungkin butuh waktu untuk menenangkan diri. Tapi setelah kupikir-pikir, aku harus menemui Johnny sekarang juga. Rasa bersalah yang masih memenuhi dadaku seolah tak bisa kutahan lagi jika aku tak menumpahkannya dengan melihat wajah suamiku itu.
Tut… tut…
Sambungan teleponku pada Johnny tidak diangkat. Aku tidak heran, itu sudah biasa. Meski sekarang jam kantornya sudah selesai dan seharusnya Johnny berada di rumah, tapi sebagai tipikal workaholic, Johnny selalu pulang telat. Dan terlihat jelas, ia akan sangat kelelahan karena begitu mencintai pekerjaannya itu.
“Baiklah kalau begitu aku akan menyiapkan sesuatu…” Bagai mendapat wangsit, aku yang sudah menutup kembali pintu rumahku langsung saja masuk ke ruang tamu dan bersiap-siap untuk ganti baju. Aku sudah mengirim pesan pada Johnny agar dia pulang terlambat saja. Ada sesuatu yang akan kusiapkan. Well, tiba-tiba saja aku kepikiran tentang menyiapkan sebuah pesta kejutan untuknya.
Kriet…
Aku baru saja membuka pintu kamarku perlahan. Tak kusangka pintu itu tak terkunci sama sekali padahal biasanya Johnny selalu menguncinya, meski kuncinya juga akan tetap ia tinggalkan begitu saja di kenopnya.
Mengabaikan satu fakta tersebut, aku pun melangkah masuk. Namun belum juga kakiku sempat meninggalkan pintu lebih jauh. Mendadak tubuhku beku. Sebuah pemandangan mengejutkan langsung menyambutku. Johnny… dia ada di kamar ini. Akan tetapi bukan itu yang membuatku begitu terhenyak sampai-sampai tubuhku kehilangan keseimbangan dan ambruk begitu saja. Melainkan satu sosok lainnya yang kini berada di rengkuhannya. Sesosok perempuan asing yang kini membelalakkan matanya ke arahku. Perempuan yang tubuhnya tertutupi selimut dengan Johnny di atasnya. Mereka terlihat…
“Pav?!” Johnny yang baru saja menyadari kehadiranku secara refleks memekik. Ia bahkan sampai terduduk, membuat tubuh atasnya yang shirtless seketika itu pula terekspos. Tapi keterkejutannya tak bertahan lama karena berikutnya, ia justru menghela napas. Sungguh bukan sebuah reaksi yang pernah terpikirkan oleh otakku.
“Akhirnya… aku gak bisa nyembunyiin ini dari kamu lagi, Pav.”
Kurasa sekarang air mataku telah tumpah dengan hebatnya. Aku menangis tanpa suara. Tubuhku gemetar seiring dengan sesak yang mendera.
“Maafin aku.”
Mendengar permohonan maafnya yang terkesan menghardikku itu, sontak membuat emosiku membara. Aku bangkit, dengan goyah berjalan ke dua brengsek di atas tempat tidur itu lalu tanganku menampar Johnny. Tadinya aku ingin melakukan hal yang sama pada perempuan sialan yang hanya menunduk itu. Tapi, Johnny menahan tanganku. Membuat hatiku serasa dihujami beribu jarum.
“BRENGSEK! APA YANG KAMU LAKUIN DI RUMAH KITA!!!!!” Aku berteriak, nyaris seperti orang gila.
“Pav! Kontrol emosimu! Jangan berteriak!”
“Jangan kamu bilang! Brengsek!” Aku memukul Johnny berang. “Brengsek! Kau ternyata berselingkuh di belakangku?!!!”
“Pav dengarkan aku dulu!”
“Brengsek! Dasar wanita murahan!!”
“Pav stop! Jangan maki Erin!”
“Kamu belain selingkuhanmu ini!!!!” Aku kini menatap nyalang perempuan tidak tahu malu yang masih terduduk di atas kasurku itu. “Berani-beraninya kamu bawa pelacur ini ke rumah kita!!!”
“PAV STOP!”
Bentakan Johnny seketika membuatku terdiam, namun tubuhku masih gemetar hebat.
“Stop ngehardik Erin, dia gak salah.” Johnny berujar dengan suara yang lebih pelan. Namun itu terdengar lebih menyakitkan dari apapun yang sudah ia katakan hari ini. “Erin gak salah di sini.”
“Gak salah katamu?! Brengsek!”
“Dia bukan selingkuhanku!”
Seketika alisku terangkat.
“Honestly… dia isteriku.” Johnny kini menatapku sendu. “Aku dan dia sudah menikah bahkan sebelum aku menikahimu.”
****
KAMU SEDANG MEMBACA
AFFAIR
Short StoryIni adalah kumpulan cerpen tentang sebuah pernikahan yang berujung pada pengkhiantan. Salah satu project terbaru dari member Writing in The Sky. Pokoknya kalian harus baca, cerita ini bercerita tentang konflik keluarga, pengkhiantan, air mata, dan j...