Di Bawah Payung Hitam

899 58 0
                                    

A story by satorie

"Mas, kamu mau pergi lagi?"

"Iya, aku ada rapat dengan klien di Surabaya. Hanya sehari, besok sudah pulang."

Aku merasa Mas Amir berubah sejak kami menikah. Umur pernikahan kami baru memasuki enam bulan. Tapi, sejak malam pertama dia belum menyentuhku sama sekali. Kontak fisik yang kami lakukan hanya sebatas berpelukan, terkadang Mas Amir mencium keningku. Mencoba berpikir positif, mungkin dia sibuk setelah menduduki tahta tertinggi di perusahaan almarhum kakek yang diwariskan untukku.

Tahta yang seharusnya diduduki olehku namun, karena tidak memiliki minat dalam dunia properti dan justru lebih nyaman dengan dunia desain busana muslim yang sudah kutekuni sejak sekolah, kuserahkan tahta tersebut kepada suamiku.

"Sarapan dulu, Mas. Aku sudah siapin di meja."

"Aku sarapan di jalan menuju bandara aja. Udah nggak keburu."

"Tapi, Mas...."

Aku berlari kecil mengikuti Mas Amir yang berjalan cepat keluar rumah. Supir sudah siap di depan mobil untuk mengantarkannya ke bandara. Mas Amir berhenti dan menoleh kepadaku yang langsung ikut berhenti tepat di belakangnya.

"Aku pergi dulu," pamitnya dengan mengulurkan tangan kanannya kepadaku. Aku menyambutnya dan langsung mencium punggung tangan tersebut. Lalu, dengan lembut Mas Amir mencium keningku cukup lama. Aku tersenyum bahagia dengan perlakuannya ini. Baru saja merasa seperti melambung ke langit, tiba-tiba harus merasakan sakit seolah terjatuh langsung ke dasar Bumi. Mas Amir melepaskan ciumannya di keningku dengan mendorongku sedikit kasar hingga aku tersentak membentur pintu di belakangku. Tanpa sedikitpun rasa bersalah, dia meninggalkanku begitu saja memasuki mobil.

"Asalamualiakum, Mas," ucapku sebelum mobil yang ditumpanginya keluar gerbang. Tanpa membalas salamku, bahkan tanpa menoleh lagi padaku Mas Amir pergi begitu saja.

Aku masuk dan mengunci pintu. Dengan menahan sesak di dada yang tiba-tiba terasa sangat menyakitkan, membuatku terduduk bersandar pada pintu. Menangisi setiap perlakuan Mas Amir yang tidak pernah sedikitpun menghargaiku sebagai istrinya.

**

Kecurigaanku terhadap Mas Amir semakin besar, dimulai dari malam itu. Malam di mana untuk pertama kalinya, dia menyentuhku seutuhnya. Saat dia pulang dari Surabaya dalam keadaan mabuk, aku membantunya ke kamar. Kudengar dia meracau tidak jelas, membicarakan bisnis dan Maya. Kakak tiriku. Awalnya, aku sempat berpikir itu hanya masalah pekerjaan karena memang Kak Maya yang mengelola kantor cabang di Surabaya. Tapi, aku keliru. Pagi hari saat Mas Amir terbangun setelah menyentuhku seutuhnya pada malam hari, nama yang dia panggil untuk pertama kalinya adalah nama Kak Maya. Hatiku benar-benar hancur. Aku sudah menyerahkan seluruh hidupku padanya, tapi yang ada dalam pikirannya hanya nama Maya. Bahkan, saat dia sadar sepenuhnya dan melihatku yang berada di sampingnya, Mas Amir menggumamkan kata maaf dan berkata bahwa semua yang telah kami lakukan adalah kesalahan. Lalu, dia pergi meninggalkanku hingga berhari-hari tidak pulang.

Bukan hanya sekali merasa curiga pada Mas Amir dan Kak Maya. Setiap suamiku ada di rumah, Kak Maya rutin meneleponnya. Alasannya, masalah pekerjaan. Aku memang tidak mengerti masalah apa yang terjadi di perusahaan kami, tapi tidak seharusnya Kak Maya menelepon langsung pada Mas Amir jika ada staf perusahaan yang bertanggung jawab. Lagi-lagi aku hanya bisa memercayai setiap perkataan suamiku. Hingga suatu pagi, semua kecurigaanku terbukti.

Mas Amir pulang bersama Kak Maya yang membawa serta semua pakaiannya dalam sebuah koper besar. Aku tidak mengerti apa yang sedang terjadi hingga penjelasan Kak Maya membuat duniaku runtuh seketika.

AFFAIRTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang