***
Apakah yang aku lakukan benar?
Apakah ini yang aku harapkan?
Apakah semua ini akan membuatku bahagia?
Tapi... mengapa aku merasa getaran aneh itu datang ketika menatapnya untuk yang terakhir kalinya?
Saat bibir pucat itu bergetar menyebut namaku dan mengucapkan kalimat sakral yang selalu dia dengungkan padaku setiap harinya... aku merasa aneh. Rasa yang seharusnya aku buang jauh-jauh dari hidupku. Rasa yang membuatku menjadi seperti ini.
Aku menatapnya datar. Berharap bahwa aku akan melangkahkan kakiku pergi, namun seolah tubuhku terpaku. Menatapnya. Bersama dengan tubuhnya yang tak lagi sama.
Bukannya ingin pergi. Ada hasrat dalam diriku untuk mendekatinya, memastikan bahwa dia... masih hidup.
Ada apa denganku? Aku tidak suka dengan diriku. Aku tidak suka dengan perasaanku ini. Aku membencinya. Dan seharusnya selamanya harus seperti itu.
***
Lumajang, 19 April 2001
(Author Point's)
"Ayah... janji yah kita bakalan main ke air terjun itu, yang kayak di tv itu..." Ajak Violin bahagia, gadis berumur tujuh tahun itu terus merengek untuk kesekian kalinya pada sang ayah yang saat ini sibuk dalam sketsanya.
"Iya sayang, asalkan putri ayah yang cantik ini segera pergi ke-kamar dan tidur." Balas ayahnya sambil tersenyum tanpa melepaskan fokusnya pada sketsa pembangunan sebuah mall baru di daerah sana. Hanya perlu penyempurnaan sedikit karena ada beberapa hal yang terlewat sehingga harus merevisi ulang sketsanya.
Violin mengerucutkan bibirnya. Kesal dengan ayahnya yang hanya menanggapinya setengah-tengah. Akhirnya gadis cilik itu memutuskan untuk pergi menuju sang bunda yang saat ini sibuk menonton serial drama di televisi. Dengan gerakan tiba-tiba, Violin melompat ke arah bundanya, yang membuat wanita paruh baya itu mengelus dadanya kaget dan menggeleng-geleng maklum atas tingkah putrinya. Melihat ada yang janggal dari wajah Violin, membuatnya bertanya.
"Ini muka putri bunda kok cemberut gini, hayo kenapa? Habis dimarahin ayah, yah?"
Violin menggelengkan kepalanya. Terlihat kesal dan memilih memeluk perut bundanya.
"Aku tadi minta ayah buat main ke air terjun."
"Terus, ayah bolehin?"
"Iya bun, tapi nanti ayah ingkar lagi. Habis Vio ajak tadi bilang iya tapi ndak liat Vio, kan Vio kesel."
"Ayah lagi sibuk sayang, nanti kalau udah longgar waktunya, pasti ayah ajak kesana."
"Awas aja kalau ayah ingkar, nanti pulang ke rumah, bakalan Vio hancurin ruang kerjanya."
Bundanya hanya tersenyum kecil. Mengingat bahwa Violin tidak pernah main-main dengan ucapannya. Sudah berkali-kali putrinya itu merusak ruang kerja ayahnya jika ayahnya melakukan kesalahan seperti ingkar janji.
"Sudah, Vio sekarang tidur yah, besok katanya mau nemenin ayah, kan?"
"Bunda tidur sama Vio yah? Biar ayah tidur sendiri. Biar tau rasa!"
***
Suara ribut itu membangun Violin yang masih meringkuk nyaman dalam selimut. Mencoba mengabaikan suara-suara yang mengganggu tidurnya, namun jeritan sang ibu membuat Violin terbangun dengan malas.
"Bun..." Panggilnya pelan. Mencoba memanggil dengan suara sedikit lantang, tapi sang bunda masih belum berusaha menjawab panggilannya, alih-alih teriakan itu semakin nyata. Membuat gadis mungil itu turun dari ranjang dan keluar dari kamarnya setengah mengantuk. Saat membuka pintu kamar, mata gadis itu menyipit mendapati sang bunda yang menangis memeluk ayahnya yang tertidur di lantai, namun bukan itu saja yang menjadi fokusnya. Beberapa orang pria bertubuh kekar mengelilingi ayah dan bundanya.

KAMU SEDANG MEMBACA
AFFAIR
Short StoryIni adalah kumpulan cerpen tentang sebuah pernikahan yang berujung pada pengkhiantan. Salah satu project terbaru dari member Writing in The Sky. Pokoknya kalian harus baca, cerita ini bercerita tentang konflik keluarga, pengkhiantan, air mata, dan j...