Karya: Zeanida
***
Aku merasa tubuhku membeku, tidak senada dengan jantungku yang berdetak bertalu-talu. Aku tahu bahwa hal ini akan terjadi, tetapi tetap saja membawa efek yang luar biasa. Baru beberapa jam yang lalu aku merasa terbebas dari jerat dosa ini, aku pikir semuanya telah selesai. Ternyata tidak. Inilah saatnya mengakhiri.
Mas Harris masih duduk tenang di seberang sana. Kalau dulu aku sangat menginginkan dia seperti ini, sebab dulu Mas Harris adalah orang paling heboh yang pernah kukenal, kini aku sangat ketakutan akan ketenangan itu. Matanya menelisikku, seakan menegaskan telah berhasil menelanjangiku sepenuhnya. Aku pun hanya mampu bertahan menatapnya beberapa detik sebelum kemudian menunduk. Merasa menjadi manusia paling berdosa di dunia. Foto yang diserahkan Mas Harris padaku telah jatuh dan berhamburan di lantai.
Ruang tamu yang dilengkapi pendingin ruangan dengan suhu rendah kehilangan fungsi bagiku, bajuku tetap saja dibanjiri keringat. Aku ingin menentang ucapan Mas Harris, tetapi semua yang pria itu terlalu benar dan tepat. Tidak memberikan aku ruang untuk berkelar. Tamat sudah riwayatku.
"Aku kurang apa untukmu, Dek?"
Hatiku lagi-lagi dihantam, dan aku tahu sebenarnya yang paling tersakiti di sini adalah Mas Harris. Namun, ternyata pisau imajiner itu juga bisa menyakitiku. Salahku memang, aku mengakuinya. Itulah yang membuat aku diam saja sedari tadi, kendati Mas Harris melemparkan sejumlah pertanyaan yang tentunya retoris itu.
"Kau main api selama ini di belakangku. Apa salahku, Dek? Apa salah aku sampai setega itu dirimu?"
Aku mendengar suara yang tadi sempat meninggi itu mulai lirih. Tak ayal, tangisku lolos begitu saja tanpa bisa aku tahan lagi. Aku telah menyakiti pria baik ini, aku coba untuk menatapnya sekali lagi berharap mampu melakukannya.
"Ma–Mas ... maafin aku."
"Apa?! Kalau kau yang berada di posisiku apakah kau akan memaafkanku?"
Mas Harris kembali menaikkan satu oktaf suaranya, aku menggigit bibir, ketakutan. Aku memang bodoh malah meminta maaf. Kurasa otakku tidak berfungsi, karena tidak satu pun lagi bisa kupikirkan. Aku benar-benar blank.
"Aku sudah mengakhirinya," akuku.
Aku menghapus air mataku, dan mencoba untuk berpikir lagi. Hubungan kami tidak boleh berakhir. Benar aku salah. Namun, bukanlah aku telah mengakhirinya? Mas Harris harus tahu bahwa aku hanya khilaf waktu itu. Atau lebih tepatnya itu hanya kesalahpahaman.
"Tadi siang, aku resmi berpisah dari dia Mas. Aku kini hanya milik Mas. Aku tidak akan pernah mendua lagi." Aku berusaha meyakinkannya. "Foto itu tidak seharusnya ada, aku sepenuhnya punya, Mas."
"Omong kosong apa ini?!"
"Mas, percaya padaku. Aku tidak akan lagi mendua. Tidak akan pernah."
"Mir ... pernikahan bukan main-main, seharusnya kau tahu itu, Dek. Hanya karena kau mengakhiri permainanmu dengan laki-laki itu lantas semua masalah selesai." Kulihat tatapan serius Mas Harris yang menunjukkan tidak sedikit pun mempercayaiku lagi.
Aku bangkit dari tempat duduk, lalu bersimbah di kakinya. "Maafkan aku Mas. Kumohon percayalah, hanya Mas yang kucintai."
Mas Harris menyingkirkanku dari kakinya. Bukan karena merasa tidak enak, justru karena merasa jijik denganku. Mas Harris sepenuhnya membenciku. Aku tidak akan pernah lagi diterima pria itu.
"Berhentilah berbohong, Mira." Aku menangis sejadi-jadinya saat tak lagi ia menyebutku adek, oh Tuhan segera bangunkan aku dari mimpi buruk ini.
"Jika kau benar-benar mencintaiku, tak sudi kau bercumbu dengan pria itu. Sudah berapa jauh ia menyentuhmu, aku tidak tahu. Akui saja, selama ini hanya aku yang mencintaimu. Dua tahun kita menikah, aku kira mampu meluluhkan hatimu yang memang sejak awal tidak menyukaiku.
KAMU SEDANG MEMBACA
AFFAIR
Historia CortaIni adalah kumpulan cerpen tentang sebuah pernikahan yang berujung pada pengkhiantan. Salah satu project terbaru dari member Writing in The Sky. Pokoknya kalian harus baca, cerita ini bercerita tentang konflik keluarga, pengkhiantan, air mata, dan j...