Suara Yang Pergi

795 49 2
                                    

By QrYuna

***

Hari dimana kita merasa hancur dengan sebuah penyesalan, hal yang kita inginkan adalah memutar waktu kembali. Namun, Itu tidak akan mungkin terjadi. Karena, sang waktu tidak pernah berjalan ke kiri.

•••

Hazel indah Kinan berbinar bahagia, tatkala memandangi wajah Arlan yang masih terlelap di sampingnya. Jemari lentiknya bergerak menyentuh rahang kokoh yang membingkai pahatan tegas itu dengan lembut. Suara dari nada dance improvisasi deringan ponsel, spontan menarik atensinya ke arah nakas. Dengan perlahan, Kinan mengambil benda pipih itu untuk melihat si penelepon. Hatinya terasa sesak ketika mengetahui siapa yang menelepon—my dear, tulisan yang tertera jelas di sana. Puluhan chat masuk berisi kalimat manis dari orang yang sama, menyentak hatinya semakin dalam. Senyum getir pun terbit, tidak ada lagi raut bahagia seperti tadi.

"Siapa yang menelpon sayang?"

suara bariton serak khas orang bangun tidur, membuatnya menoleh kesamping. Tidak menjawab, Kinan hanya menyodorkan ponsel itu kepada pemiliknya. Setelah itu, dirinya menarik selimut tebal untuk menutupi tubuh polosnya dan segera bangkit dari ranjang. Langkahnya terdengar melankolis menuju balkon kamar, setelah dia mengenakan pakaiannya dengan acak-acakan. Sejenak, udara pagi bersentuhan embun memberikan kesejukan di tubuhnya, menusuk perih.

Lamunan Kinan buyar, ketika sepasang lengan kekar memeluknya sangat erat. Dia ingin menolak pelukan itu, tapi rasa menenangkan yang menjalar di hatinya menolaknya melakukan itu. Bergelut dengan perasaan dan logika sangatlah melelahkan. Mungkin, diam memang pilihan mereka saat ini.

Hening.

Mereka saling berbagi kehangatan dalam kebungkaman beberapa saat.

"Apa aku terlihat seperti seorang istri yang sedang cemburu?"

"Iya."

"Terlalu menyedihkan pasti." tukas kinan tersenyum getir.

"Tidak, karena aku mencintaimu."

Ucapan yang terdengar sungguh-sungguh dari pria di belakangnya, membuat Kinan sedikit merasa lega. Iya, tidak seharusnya dia gelisah, Arlan tidak akan meninggalkannya hanya demi seorang Salsa–istrinya. Namun, sekuat apapun menyangkal, keresahan tetap datang menghampirinya.

Satu kecupan mendarat di kening Kinan setelah sebelumnya Arlan membalikkan tubuhnya menghadap dirinya.

"Sayang, jangan sedih, kita hanya korban disini." cecar Arlan tenang, namun tersirat dengan luka.

"Aku hanya sedikit takut Lan, takut jika kamu meninggalkan ku, takut....

Jika kamu tau kebenarannya.. lanjut batinnya.

Takutnya kamu lebih memilih istrimu dibandingkan aku yang hanya selingkuhanmu." tatapan sedihnya teramat mengiba.

"Listen to me, baby. I can't stop loving you. I promise. Ingat, Salsa berkhianat dengan saudaraku sendiri yang sialnya juga suamimu.

Kita tidak salah, dan jangan berfikir bahwa aku akan memilih perempuan .itu. dibandingkan.dirimu." tegas Arlan penuh penekanan di akhir kalimat.

Langsung saja Kinan menghambur ke pelukannya. Dia bahagia, sangat. Laki-laki yang dicintainya akan selalu bersamanya. Walaupun, bukan miliknya sepenuhnya.

Persetan dengan perasaan Salsa–sahabatnya, dan Aksan–suaminya. Toh, Aksan tidak mencintainya, sama sepertinya. Dia sudah terlanjur kotor dengan dosa penuh kenikmatan. Berbicara tentang perasaan bagi seorang Kinan, hanya buang-buang waktu saja.

AFFAIRTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang