Pelampiasan

1.1K 52 1
                                    

Writen by afchan_

“Maukah kau menikah denganku?”
Jika ditanya seperti itu apa jawaban kalian? Kalau aku tanpa ragu akan aku langsung menjawab ‘Ya’. Apalagi aku dilamar oleh orang yang sangat kucintai. Dia teman sekantorku, awal pertemuanku dengannya ketika aku dipindahkan ke kantor ini. Awalnya sulit untuk mendekatinya karena dia sangat tertutup.
Butuh waktu yang cukup lama sampai kami bisa saling mengenal. Kupikir Zaki itu orangnya memang ketus dan dingin. Tapi begitu kenal dengannya ternyata dia sangat baik. Dia sering menyemangatiku serta membantuku. Karena hal itu, aku jadi merasa nyaman di dekatnya. Rasanya ingin terus bersamanya.
Lalu suatu hari tanpa sengaja kami bertemu di sebuah kafe. Aku melihat Zaki sedang duduk termenung sendirian. Aku menghampirinya dan bertanya kenapa dia sendirian di sini. Zaki tidak menjawab pertanyaanku. Dia malah memintaku untuk duduk dan menemaninya di sini. Sekitar hampir dua puluh menit, kami hanya diam. Sibuk dengan pikiran masing – masing.
Tiba – tiba Zaki mememanggilku. Dia bertanya padaku apakah aku mau mendengarkan curhatannya. Aku menggangguk dan dia langsung tersenyum. Dia menceritakan kisah cintanya yang kandas karena orangtuanya tidak setuju dia menikah dengan kekasihnya. Padahal mereka sudah pacaran sejak masa kuliah dulu. Dan karena hal itu, Zaki tidak pernah mau membuka hatinya lagi untuk wanita mana pun.
Dia sangat mencintai mantan kekasihnya itu. Meskipun lima tahun telah berlalu Zaki masih tetap tidak bisa melupakan mantannya. Aku sempat menyerah untuk mendapatkan cinta Zaki. Namun, setelah kupikir – pikir lagi. Aku yakin aku bisa mendapatkan hatinya.
Setelah satu tahun aku berusaha untuk mendapatkan hatinya. Akhirnya aku bisa menaklukkan hatinya. Dan seperti yang kalian lihat. Dia melamarku di hadapan teman – teman kantor.
“Ya, aku mau,” jawabku sambil tersenyum bahagia.
*****
“Mel, dasiku mana?” tanya Zaki sambil berjalan menghampiriku.
“Ini aku baru ambil dari lemari.” Aku membantunya memakai dasi lalu mengambilkan jasnya.
“Hari ini kamu sibuk? Aku mau makan malam diluar bersamamu, ” tanyanya.
“Aku tidak sibuk. Sudah lama sekali kita tidak makan malam berdua diluar,” jawabku sambil tersenyum. Zaki juga tersenyum padaku.
Setelah selesai sarapan, kami pun berangkat ke kantor bersama. Setelah menikah, aku dipindahkan ke kantor cabang yang lain. Sementara Zaki tetap di kantor yang lama. Untungnya kantor cabang tempatku bekerja lebih dekat dari rumah. Jadi, Zaki mengantarku terlebih dahulu sebelum ia ke kantornya.
“Sampai jumpa nanti sore,” ucapku sebelum turun dari mobil.
Aku langsung berjalan masuk ke dalam kantor begitu Zaki sudah pergi. Saat berjalan di lobi, beberapa karyawan yang berpapasan denganku menyapaku. Aku membalas sapaan mereka juga sambil tersenyum.
“Pagi Amel.” Sapa Tia.
“Pagi Tia,” balasku.
“ Haduuuh, kerjaanku kok hari ini banyak sekali” Tia mengeluh karena pekerjaannya yang terus berdatangan.
“Ini masih pagi jangan mengeluh. Semangatlah,” ucapku.
“Iya, siap Bu guru.” Aku terkekeh mendengar jawabannya.  Aku pun duduk di kursiku dan mulai bekerja.
*****
Malam harinya, kami pun pergi ke restoran tempat biasanya kami makan bersama. Dari tadi kuperhatikan wajah Zaki tampak murung. Sepertinya dia sedang memikirkan sesuatu.
“Zaki, ada apa? Ada masalah?” tanyaku.
“Amel, tadi aku bertemu dengan Nadia.” Aku langsung tersedak.
“Apa? Di mana kau bertemu dengannya?” tanyaku.
“Di kafe dekat kantor. Saat itu aku dan teman – teman sedang makan siang. Nadia bekerja di kafe itu ternyata. Dia tidak berubah tetap sama seperti dulu,” jawabnya.
Jantungku tiba – tiba berdetak kencang dan tiba – tiba aku merasa gelisah. Semoga hal buruk tidak terjadi. Dan aku harap Zaki sudah mengubur dalam – dalam perasaanya pada Nadia.  Malam itu, aku juga tidak bisa tidur karena memikirkan pertemuan Zaki dan Nadia.
Hingga tiga hari berlalu. Selama tiga hari ini aku tidak bisa fokus bekerja dan malamnya sulit tidur. Pikiranku terus tertuju pada Zaki dan Nadia. Kusandarkan tubuhku ke kursi. Aku menghela napas, lalu kupijat keningku.
“Kamu kenapa Mel?” tanya Tia.
“Aku baik – baik saja,” jawabku lesu.
“Serius?” tanyanya lagi, aku hanya mengangguk.
Saat jam makan siang, Bu Kirana mengajak kami makan siang bersama. Beliau bilang kalau dia mau mentraktir kami. Aku dan keempat temanku ini langsung setuju, apalagi Bu Karina mengajak kami makan di restoran Jepang. Begitu tiba di sana, aku teringat Zaki. Dia sangat menyukai makanan Jepang. Nanti aku belikan untuk dia juga.
“Mel, itu.... bukannya Zaki?” Tia menepuk pundakku, kuikuti arah telunjuknya.
“Z,Zaki?” gumamku. Apa yang selama ini aku khawatirkan benar – benar terjadi. Di depan sana, aku melihat Zaki dan Nadia sedang tertawa bersama. Mereka tampak sangat akrab. Aku langsung berpamitan pada Bu Kirana dan teman – temanku. Aku tidak sanggup berada di sana.
“Saya ada urusan, saya ke kentor dulu,” ucapku. Untungnya mereka percaya dengan alasanku. Tia juga ikut pulang denganku.
“Sejak dia memberitahuku kalau dia bertemu dengan Nadia, perasaanku mulai tidak enak. Aku takut dia kalah dengan kenangan. Aku takut dia akan kembali mengejar mantan kekasihnya,” ucapku ketika kami berada di dalam taksi. Air mataku terus berjatuhan tak mampu kubendung lagi.
“Kamu tenang dulu, kamu jangan emosi duluan. Mungkin Zaki punya alasan kenapa dia bertemu dengan Nadia. Saat di rumah nanti, kamu coba tanya sama Zaki. Ok?”
Sayangnya, saat pulang ke rumah aku tidak berani menanyakan hal itu. Aku terlalu takut, aku takut jawaban yang Zaki berikan tidak sesuai dengan harapanku.
*****
Hari demi hari berlalu, aku merasa hubunganku dan Zaki agak merenggang. Kami jadi jarang berkomunikasi dan aku hanya bertemu dengan Zaki saat pagi. Jadwalku makin padat hingga aku sering lembur. Setiap kali aku pulang Zaki pasti sudah tertidur lelap. Akhir – akhir ini aku perhatikan, dia juga terlihat sangat bahagia.
Rasa khawatir dan curiga terus menyelimutiku. Mana pekerjaanku banyak sekali lagi. Aku rasa aku butuh hiburan dan beristirahat sejenak. Jadi aku mengajak Tia jalan – jalan ke mall saat kami pulang nanti.
“Hufftt.... akhirnya bisa pulang,” ucapku sambil bersandar di kursi. “Tia, kamu udah selesai? Kamu jadi nemenin aku ke mall kan?” tanyaku.
“Iya, jadi kok. Tunggu lima menit lagi,” jawabnya. Matanya masih fokus pada layar laptop. Begitu lima menit berlalu, Tia pun mematikan laptopnya lalu membereskan barang – barangnya. Kami pun pergi bersama ke mall.
“Mel, kita ke toko sepatu dulu yuk. Aku mau beli sepatu baru nih. Sepatu yang aku pakai udah jelek,” ajaknya. Kami pun masuk ke salah satu toko sepatu. Sambil Tia memilih – milih sepatu, aku juga berjalan – jalan mengelilingi toko itu.
Mungkin saja ada sepatu yang sesuai dengan seleraku. Aku ingin membeli satu juga. Namun, langkahku langsung terhenti ketika melihat seseorang yang sangat kukenal sedang bergandengan dengan seorang wanita.
“Zaki!” panggilku. Suaraku sangat keras sampai – sampai beberapa orang menoleh ke arahku. Sementara Zaki dan Nadia mematung di tempatnya. Mereka terkejut melihatku memergoki mereka sedang bermesraan. Nadia langsung memalingkan wajahnya. Dia tidak berani menatapku yang sudah seperti singa yang akan menerkamnya.
“Amel aku tadi nyariin.... Zaki?” Tia tiba – tiba datang menghampiriku. Dia sama terkejutnya ketika melihat Zaki bersama dengan Nadia.
“Tia....ayo pergi,” ajakku dengan suara bergetar. Tia langsung mengangguk dan membawaku pergi dari sana. Dalam perjalanan pulang yang kulakukan hanyalah terus menangis. Aku benar – benar tidak menyangka kalau Zaki akan berselingkuh.
Cintanya untuk Nadia terlalu besar dan dalam. Bahkan setelah menikah denganku pun dia ternyata masih menyukai Nadia. Ketakutanku selama ini menjadi nyata. Sejak awal aku selalu berharap semoga mereka tidak bertemu lagi.
Aku pun tiba di rumahku, aku meminta Tia untuk pulang. Aku saat ini ingin sendirian dulu. Tia pun mengangguk, sebelum pergi dia memberiku nasihat dan menyemangatiku. Begitu Tia pergi, aku langsung masuk ke dalam rumah. Aku duduk di sofa sambil menunggu kepulangan Zaki. Sekitar satu jam aku menunggu akhirnya Zaki pulang.  
“Apa selama ini aku hanya pelarian?” tanyaku begitu Zaki masuk ke dalam rumah. Kulemparkan tatapan tajam padanya.
“Aku minta maaf,” ucapnya sambil menunduk. “Kalau kau mau marah, marah saja. Pukul saja aku, aku minta maaf karena sudah mengecewakanmu. Tapi aku benar – benar jatuh cinta lagi pada Nadia.”
Aku menggeleng, tidak habis pikir dengan ucapan Zaki barusan. Dengan entengnya dia mengatakan itu. Aku langsung berdiri dan menghampirinya.
“Meminta maaf itu gampang sekali, ya? Selama ini aku sangat mencintaimu, namun ternyata aku hanyalah pelarian. Astaga, betapa bodohnya aku,” ucapku sambil meremas rambutku. Aku benar – benar dibuat stres karena ulahnya.
  “Aku ingin tanya, apa kau mencintaiku? Apa pernah kau mencintaiku walau hanya sedikit? Apa aku pernah masuk di hatimu? Atau di dalam sana hanya ada Nadia sehingga tidak ada tempat untukku.”
Aku terus bertanya padanya namun dia hanya diam. Aku duduk kembali di sofa. Kakiku terlalu lemas untuk berdiri. Air mataku tidak bisa ku tahan lagi. Diamnya Zaki artinya ‘iya’. Fakta itu sangat menyakitkan bagiku.
“Amel aku minta maaf padamu. Aku tidak pernah menganggapmu sebagai pelampiasan. Aku juga tidak bisa menahan perasaan ini. Begitu melihat Nadia, rasa cintaku padanya kembali muncul,” ucap Zaki sambil duduk di sampingku.
Aku langsung berdiri dan menghapus air mataku dengan kasar.“Baiklah jika itu maumu. Aku yang akan pergi.” Aku beranjak dari sana, berjalan menuju ke kamarku.
“Amel! Amel, tunggu kau mau ke mana?” Zaki terus mengikutiku namun aku tidak meresponnya. Aku mengambil koperku dan memasukkan barang – barangku ke dalam sana. Zaki mencoba menghentikanku namun aku selalu menepis tangannya.
“Jangan menghalangiku! Untuk apa kau melakukan ini? Pernikahan ini tidak bisa dipertahankan lagi. Kau sudah membuatku kecewa Zaki. Zaki yang ku kenal dulu telah tiada. Dia sudah mati, sekarang yang ada di depanku adalah Zaki si brengsek. Aku akan segera mengurus perpisahan kita setelah itu kau bisa bersama Nadia-mu itu.”
Kutarik koperku lalu berjalan keluar dari kamar. Aku keluar dari rumah dan segera mencari taksi. Zaki mengjeraku namun aku sudah lebih dulu masuk ke dalam taksi.
“Jalan Pak!” pintaku pada sopir taksi.
*****
Sudah setahun berlalu sejak perpisahanku dengan Zaki. Aku kembali ke kota kelahiranku.  Di kota ini aku memulai lembaran baru lagi. Aku juga sudah mengikhlaskan Zaki untuk Nadia. Seharusnya sejak awal aku menyerah untuk mengejar Zaki. Namun, aku keras kepala dan akhirnya berakhir seperti ini.
Di hati Zaki tidak ada wanita lain selain Nadia. Aku pun yang pernah menjadi istrinya tidak pernah ada di dalam hatinya. Aku pun juga sekarang menutup hatiku. Aku tidak mau membuka hatiku untuk laki – laki manapun.
TAMAT

AFFAIRTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang