part 15 [Pulang dan bimbang]

31 4 0
                                    

Hera pov

Ah akhirnya aku kembali juga ke rumah ku yang di Jakarta, kondisinya masih bagus dan terawat. Ini pertama kalinya aku menginjak kaki dirumahku sendiri
Rumah ini persis seperti yang aku inginkan, bergaya Yunani kuno, sebenarnya rumah ini terlalu besar jika hanya ditempati oleh aku dan Ella, untungnya Mas Adit juga memutuskan untuk tinggal disini juga. Jadi otomatis rumah ini milik aku dan mas Adit juga, kita berdua juga patungan bahu membahu membangun dan merawat rumah ini. 7 tahun di perantauan yang tak sia-sia.

Mas Adit mempekerjakan 3 orang sebagai pembantu disini. Ya sesuai permintaanku, 1 wanita dan 2 laki-laki. Baguslah kalau misalnya begitu, aku jadi merasa agak terbantu jadinya.

Setelah mandi dan mengganti pakaianku, aku segera pergi ke sofa gantung dari anyaman yang terbuat dari ayunan. Aku merasakan perasaan yang damai dan tenteram saat mendengar percik air dari kolam air mancur dan semilir angin yang menyejukkan. Ah sudah lama aku tidak merasa sedamai dan senyaman ini. Walaupun rumahku di negeri kincir angin hampir serupa suasananya-kolam renang dengan air mancur dan juga taman- tapi tetap saja ada perbedaan di rasa nyaman dan damai di rumah sendiri, mungkin lebih tepat disebut sebagai rasa nyaman di tanah kelahiran sendiri.

Aku membuka buku catatan yang sering kubawa kemana-mana untuk menulis lagi puisi yang baru saja terpikirkan olehku

Murka abadi yang tak Terperi
Membawa luka basah setiap hari
Ketika aku berdoa agar tak bertemu lagi
Ternyata semesta memintaku untuk bertemu lagi
Jawaban macam apa ini
Apakah memang sudah takdir?
Ah tidak! Aku tidak boleh kembali lagi
Pantang bagiku memutar balik roda yang bergulir
Tak ada yang akan kembali
Aku akan tetap berjalan ke depan meski harus sendiri
Semesta tau aku tak mau kembali

Elakan untuk hati yang hancur
-Rythe Syailendra-
(Jakarta, 1 Desember 2026)

Aku menutup buku catatan ku dan menaruhnya di sampingku. Aku menatap air mancur dan kolam renang yang jernih di depanku dengan tenang. Rasanya aku tidak ingin beranjak dari sini selamanya. Ini adalah kedamaian yang kucari, rasa tenang yang kunanti-nanti setelah sekian lama melarikan diri dari masa lalu ke negeri orang.

"Ndien" sebuah suara membuyarkan lamunanku, aku segera menoleh ke sumber suara dan mendapati mas Adit sudah berdiri di sebelahku dengan tegapnya, walaupun dia hanya memakai kaus oblong abu-abu dan celana pendek berwarna hitam, Dia masih terlihat gagah. Mungkin karena perawakan khas polisi nya yang membuatnya tetap terlihat gagah.

"Eh mas Adit, ngagetin aja" aku mengalihkan pandanganku darinya dan kembali memandang ke arah pancuran air di kolam renang.

"Lu masih kepikiran soal Bagus ndien?" Dia bertanya padaku sambil ikut duduk di sampingku.

"Enggak kok, ngapain mikirin dia"
"Kamu gausah bohong ama mas" mas adit menjawab ku dengan lembut.

"Sotau"

"Eh iya lho, ketauan. Tadi nulis puisi tentang dia kan, kamu masih berusaha menampik percikan rasa yang sempat terlupakan ke dia kan" Mas Adit sepertinya membaca pikiranku, ah sial.

"Eh apaan sih, liat-liat aja!"

"Ya lagian lu nulis ga liat-liat ke sekeliling" dia berusaha mencandaiku.

"Ah elah rese"

"Ngedumel Mulu, kebiasaan. Gua tau lu keingetan lagi kan ama si Bajingan itu gara-gara ketemu lagi di rumah sakit"

"Iye" aku mengaku.

"Gapapa, keinget lagi rasanya itu normal-normal aja. Gua ga ngelarang kok, bukannya selama ini hal itu yang jadi peneman lu disana, inspirasi lu dalam berkarya. Dah banyak banget karya lu yang mengisahkan tentang dia, terutama di lukisan dan puisi" Mas Adit bercerocos panjang lebar kepadaku.

HerabagusTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang