Obrolan malam dan bukan akhir dari cerita

146 13 4
                                    


Tolong baca side note di bawah ya!

🍭

Hembusan angin malam menerpa kulit masing-masing, tanpa balutan jaket atau benda semacamnya. Tidak ada percakapan, yang hanya di isi dengan deru nafas masing-masing. Keduanya sedang berada di belakang halaman rumah keluarga tandean.

"Kalo nggak ada yang mau kamu omongin, aku masuk" Nadira yang sudah mengambil ancang-ancang untuk kembali masuk ke dalam ditahan langsung. "Jangan nad!" itu rian.

Lelaki itu menarik pergelangan tangan nadira secara perlahan—memintanya untuk kembali duduk. "Sudah sepuluh menit kita di luar dan kamu nggak ngomong apa-pun, rian"

"Kalaupun kita duduk berdua harus di isi dengan pembicaraan?" maksud ingin bercanda rian malah mendapat delikan tajam.

Sepi kembali menemani.

"Kita... masih tetap berteman kan?"

Menoleh kepala dengan cepat, nadira tak menyangka jika perkataan itu yang harus keluar dalam mulut temannya. Menghela nafas pelan sembari mengangguk "Iya..." lirih nadira pelan.

"Terlepas dari perasaan kita masing-masing. Aku harap hubungan pertemanan kita masih tetap sama nad, jangan sungkan atau pun canggung sama aku"

Tak ada jawaban, pelupuk mata nadira sedang berembun. Satu jitakan kuat mendarat di kening rian. "Kita selamanya tetap teman, bodoh!. Dan nggak ada yang berubah sama sekali"


Nabilla tersenyum pongah sembari menatap sang gawai. Menampilkan sederet percakapan dengan satryo yang sedang berada di luar sana. Keduanya sedang dilarang untuk bertemu sampai menjelang Hari H. Yang sering disebut dengan kata Pingit.

"Kamu udah makan?"

"Sudah, kamu masih ngobrol sama ayah dan yang lainnya diluar?"

"Nggak. Mereka lagi ngobrol di ruang tamu"

"Mereka? Kamu sekarang lagi dimana?"

"Depan pintu kamar kamu"

Kalimat terakhir dalam percakapan itupun sontak membuat nabilla langsung berdiri. Dengan langkah perlahan mendekati pintu. "Ryo?" panggil nya pelan.

"Iya"

Membekap mulut dengan dramatis, senyum nabilla bertambah lebar. Yang sekarang sang tubuh sudah duduk menyender di belakang pintu. "Kamu ngapai disini?"

"Cuma mau denger suara kamu aja"

Lantas satu tinjuan mengenai tubuh pintu, menghasilkan suara dentuman keras dan mengejutkan satryo saat itu juga. "Berhubung aku nggak bisa ninju bahu kamu secara langsung. Pintu sebagai perantara nya"

Ucapan itu membuat suara tawa dari satryo menguar. Jantung nabilla yang kembali berdetak kencang. Rasa nya masih sama setelah bertahun tahun mendengar suara dari satryo.

"Satryo, ngapain kamu disitu?" itu kaizan. Yang sedang menatap calon adik iparnya dengan tatapan bertanya.

Satryo segera bangkit dengan gerakan canggung. "Habis ngobrol bang, hehe"

"Bisa kita bicara sebentar? Abang tunggu di halaman belakang"

Kepulan asap dari panasnya dua cangkir kopi susu menemani hening malam ini. Satryo yang terus menundukkan sang kepala tanpa mengucap satu kata pun. Dan izan yang turut sama diam nya.

"Billang itu cengeng, mudah nangis" Ucapan itu membuat satryo mendongakkan kepalanya dengan cepat. Dan mengangguk ragu.

"Dia juga perasa. Kalau ada perkataan yang bisa nyakitin hati nya, selalu diam dan dipendem sendiri. Billang selalu masang topeng wajah terbaik di depan ayah dan bunda tapi nggak dengan kakak nya sendiri"

Pengagum rahasia {End}Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang